Mbah Haji Abdul Qodir, Kediri
Mbah Haji Abdul Qodir atau Mbah Kaji Kadir adalah murid sekaligus guru Syekh Mustaqim. Pada awalnya, beliau adalah murid Syekh Mustaqim. Yang menyebabkan beliau kemudian berstatus sebagai guru Syekh Mustaqim, itu disebabkan karena Syekh Mustaqim meminta ijazah Khizib al Asyfa' yang diperoleh Mbah Kaji Kadir dari Nabiyulloh Khidlir, 'alaihis salam. Rumah beliau terletak di jalan Doho, kota Kediri (hotel Surya ke Barat 40 meter). Beliau dimakamkan di TPU yang terletak di komplek masjid Setono Gedong dan makam Syekh Wasil, sekitar 100 meter dari kediaman beliau.
Pada masa mudanya, beliau adalah seorang pesilat yang tersohor. Selain itu, beliau termasuk orang yang gemar tirakat dan sangat tahan lama (Jawa, betah) dalam menj alankan aurod. Beliau wafat pada tahun 1951. Berdasarkan keterangan menantu beliau, ibu Maksum, beliau lahir pada hari Senin, meninggal dunia hari Senin, mendapatkan khizib Asyfa' dari Nabiyulloh Khidlir, ’alaihis salam, juga pada hari Senin.
SEPEDA ANGIN SUPER EKSPRES.
Pemah pada suatu hari Senin sore, ketika itu Mbah Kaji Kadir yang tengah berpuasa, sedang bersiap-siap untuk berangkat khususiyah malam Selasa di Pondok PETA dengan menaiki sepeda angin. Saat itu waktu sudah menunjukkan beberapa menit menjelang masuknya waktu Maghrib. Ketika akan berangkat, Mbah Nyai Kadir mengatakan kepada suaminya, "Bah, nopo mboten bidal mangke bibar buko pindah kemawon, to?" (Bah, apa tidak berangkat nanti setelah berbuka saja sekalian, to?). Dijawab Oleh Mbah Kaji Kadir, "Ora, mboke, budal sak iki wae, timbang engko khususiyahe telat." (Tidak, mboke, berangkat sekarang saja, dari pada nanti khushusiyahnya terlambat).
Maka, kemudian Mbah Kaji Kadir berangkat dengan mengendarai sepeda angin kesayangannya. Ketika melintas di depan masjid Agung Kota Kediri, dari loud speaker masjid terdengar suara sang muadzin mengumandangkan adzan Maghrib. Mbah Kaji Kadir pun tetap mengayuh sepedanya.
Tak lama kemudian, pada saat melintas di depan masjid di salah satu kecamatan di wilayah Kota Kediri arah menuju Kota Tulungagung, dari masjid itu juga masih terdengar kumandang adzan Maghrib. Mbah Kaji Kadir pun tetap mengayuh sepedanya.
Setelah berjalan beberapa belas kilometer, beliau kembali melintas di depan masjid di kecamatan berikutnya. Dari masjid itu juga terdengar kumandang adzan Maghrib. Mbah Kaji Kadir tetap meneruskan perjalanannya. Begitu seterusnya, sampai beberapa masjid di kecamatan berikutnya juga masih terdengar kumandang suara adzan Maghrib. Sampai akhirnya Mbah Kaji Kadir melintas di depan masjid Jami' Al Munawwar, Tulungagung juga masih terdengar suara adzan Maghrib. Satu menit kemudian, sampailah Mbah Kaji Kadir di Pondok PETA. Ketika itu, muadzin pondok juga sedang beradzan pula. M aka, bersama-sama dengan orang-orang yang juga sedang berpuasa, Mbah Kaji Kadir pun lalu ikut nimbrung berbuka puasa.
WlRlD LONCAT TINGGI.
Pernah, pada suatu malam, di tengah-tengah keheningan munajat beliau, Mbah Kaji Kadir tiba-tiba mendengar suara khawatib yang mengajarkan Sebuah doa. Dan seusai doa itu dibaca, bisikan khawatib itu juga menyuruh Mbah Kaji Kadir untuk ke luar rumah lalu kemudian supaya meloncat setinggi-tingginya. Tidak berapa lama kemudian, Mbah Kaji Kadir pun melakukan sebagaimana yang di perintahkan oleh suara gaib itu.
Ketika sampai di luar rumah, setelah selesai membaca doa itu, beliau segera meloncat setinggi-tingginya. Apa yang terjadi? Atas kehendak Alloh Yang Maha Agung, loncatan Mbah Kaji Kadir itu ternyata bisa melampaui atap atau wuwungan beberapa rumah. Sebagai seorang pendekar, mengalami peristiwa yang seperti itu tentu saja beliau merasa takjub dan sangat senang. Sampai-sampai beliau mengulanginya beberapa kali.
Setelah selesai sholat Subuh, segera saja beliau mengayuh sepedanya dengan cepat menuju ke Pondok Kauman (istilah Pondok PETA waktu itu yang memang terletak di kelurahan Kauman, Tulungagung) yang berjarak sekitar 35 kilometer dari rumah beliau. Beliau bermaksud untuk menyampaikan kepada Mbah Mustaqim peristiwa yang baru saja beliau alami. Beliau menganggap bahwa peristiwa luar biasa itu akan bisa menyenangkan dan membanggakan hati Mbah Mustaqim, guru beliau.
Di hadapan Mbah Mustaqim, Mbah Kaji Kadir menceritakan peristiwa yang beliau alami semalam itu dengan nada yang mengebu-gebu. Namun, apa tanggapan Mbah Mustaqim setelah menyimak dengan seksama apa yang dituturkan Mbah Kaji Kadir? Mbah Mustaqim sembari tersenyum berkata, "Lha yo, to Ji, lek wis sampeyan iso koyok ngono kuwi lho, terus sampeyan arepe nyapo?" (Lha ya to J i, panggilan Haji kepada Mbah Kaji Kadir, kalau kamu sudah bisa seperti itu, lantas kamu mau apa?)
Mendengar dawuh Mbah Mustaqim yang tak terduga itu, maka langsung lemaslah tubuh beliau. Kepala beliau pun langsung tertunduk. Beliau merasa malu dan bersalah kepada guru beliau itu. Karena, beliau menyadari bahwa dalam dunia thoriqot tidak diajarkan hal-hal yang seperti itu. Dalam ilmu tasawwuf, hal seperti demikian itu sangatlah tidak layak untuk dibanggakan. Itu hanyalah accessories yang sangat tidak penting. Bahkan, bisa jadi, hal itu justru akan 'mencelakakan' bagi yang bersangkutan.
Dengan suara lirih, beliau lalu matur kepada Mbah Mustaqim, ”Inggih Yai,
dalem lepat. Nyuwun pangapunten, Yai" (Inggih, Yai, saya bersalah. Mohon maaf, Yai). Dengan suara yang sareh Mbah Mustaqim pun menjawab, " Yo, ora opo-opo" (Ya, tidak mengapa).
Mbah Kaji Kadir juga memiliki kelebihan, apabila berpindah tempat dari satu ruangan ke ruangan lainnya, beliau tidak perlu melewati pintu yang seharusnya. Beliau cukup berjalan dengan menembus tembok penyekat ruangan itu.
Mbah kaji Kadir mempunyai seorang sahabat karib yang juga murid Syekh Mustaqim yang bernama Mbah Ilyas. Rumah beliau terletak di sebelah Selatan perempatan masjid Agung Kota Kediri. Sehari-harinya, Mbah Ilyas berprofesi sebagai seorang sopir bis DAMRI (Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia) jurusan Kediri-Surabaya, PP. Beliau juga memiliki karomah seperti yang dimiliki Mbah Kaji Kadir, 'sepeda angin super ekspres'.
Ada satu kebiasaan Mbah Ilyas yang tidak layak kita tiru. Beliau, kalau sedang menjalankan tugas sebagai sopir bis, sering tertidur pulas di atas kemudi bis sampai mengeluarkan suara dengkuran. Namun, aneh bin ajaib, bis yang beliau kemudikan apabila waktunya berjalan, ya berjalan dengan sendirinya. Waktunya berbelok, ya berbelok dengan sendirinya. Waktunya perlahan, ya perlahan dengan sendirinya. Waktunya melaju kencang, ya melaju kencang dengan sendirinya. Waktunya menurunkan atau menaikkan penumpang ya menepi dan berhenti dengan sendirinya.