Mbah Marjan
(Murid Syekh Mustaqim Yang Fenomenal)
A. PENDAHULUAN.
Mbah Marjan adalah termasuk santri Syekh Mustaqim yang sangat fenomenal dan banyak dikaruniai kelebihan kelebihan yang bersifat khowariqul adah (menyimpang dari kebiasaan pada umumnya). Beliau dilahirkan pada tahun 1901,(seumuran dengan Syekh Mustaqim). Semasa hidupnya, beliau bertempat tinggal di dukuh Ploso, desa Punjul, kecamatan Karang Rejo Tulungagung. Beliau menjadi santri Syekh Mustaqim pada tahun 1950-an.
Sebelum menjadi murid Syekh Mustaqim, Mbah Marjan sudah malang melintang di dunia ilmu kejawen dan kanuragan sejak masih belia. Alkisah dalam menuntut ilmu hitam itu beliau berpetualang dari ujung Timur sampai ujung Barat pulau Jawa. Konon, beliau sampai memiliki guru sebanyak 61 orang. Dan, sudah menjadi prinsip beliau, bahwa setiap kali beliau akan berguru kepada seseorang, maka si calon guru itu harus melalui " uji kompetensi' terlebih dahulu. Ketika si calon guru itu tidak lolos 'uji kelayakan' yang beliau lakukan sendiri, maka beliau pasti akan membatalkan niat berguru kepada orang tersebut.
Bagaimana tidak, beliau berpendapat, "Ngapain saya harus berguru kepada orang yang ilmunya masih di bawah ilmu saya?" Biasanya, beliau mengukur kedalaman ilmu seseorang itu dengan cara menyantetnya. Apabila orang itu mampu menahan atau menangkis santet yang beliau kirim, maka itu berarti orang tersebut 'laik' untuk beliau jadikan guru. Pada waktu itu, kesaktian beliau sudah pada tahap 'high class'. Diceritakan, bahwa beliau sampai bisa berubah wujud menjadi ular atau binatang lainnya.
Selain itu, sehari-hari, rumah beliau tidak pernah sepi dari pasien beliau yang datang dari mana-mana. Meskipun, bisa dikatakan, beliau mampu mengatasi segala macam permasalahan 'klien' beliau, namun beliau terkenal sebagai dukun 'spesialis' pilkades alias pemilihan lurah atau kepala desa.
Romo Kyai Abdul Djalil pernah mengatakan bahwa beliau pernah disuruh Syekh Mustaqim untuk mengetahui dan mengenal seluk-beluk ilmu Kejawen kepada Mbah Marjan. Oleh karena itulah kemudian beliau menjadi sering 'kursus privat' tentang ilmu Kejawen dari Mbah Marjan, di sela-sela Mbah Marjan menjalani suluk di Pondok PETA. Semua ilmu Kejawen itu bisa beliau ketahui secara detail dari A sampai Z, mulai dari kegunaan atau khasiatnya, lafadh atau rapalan japamantra-nya, kaijiyah (tata cara) lelaku dan tirakatnya, sampai letak kelemahan (Jawa, pengapesan)-nya. Sehingga ketika beliau sudah menjadi kyai, pada saat berhadapan dengan orang-orang Kejawen dan ahli kanuragan, beliau sudah sangat paham dengan ilmu orang yang sedang beliau hadapi itu.
B. MBAH MARJAN 'MASUK ISLAM'.
Kisah tentang 'masuk Islamnya' Mbah Marjan dimulai dari kebiasaan beliau menjalani tirakat ilmu Kejawen-nya itu. Mbah Marjan mempunyai kebiasaan sejak muda, setiap malam Jum'at selalu berjaga (tidak pernah tidur).
Sampai pada suatu malam Jum'at, entah karena apa, pada sekitar pukul dinihari, tiba-tiba Mbah Marjan merasakan kantuk yang amat berat. Beliau mencoba untuk menahan rasa kantuk itu dengan segala cara tapi tetap tidak bisa. Mbah Marjan pun akhirnya tertidur. Dalam tidurnya itu Mbah Marjan bermimpi bertemu dengan seseorang yang memakai surban dan berjubah hijau. Orang itu berkata, "Kowe blajaro ngaji " (kamu belajarlah mengaji). Setelah orang itu mengatakan demikian, orang itu lalu pergi. Mbah Marjan pun kemudian terbangun.
Mengalami kejadian seperti itu, Mbah Marjan tidak terlintas pikiran apa pun. Walaupun ada perasaan sedikit menyesal, namun hal itu beliau anggap sebagai kejadian yang tidak ada istimewanya. Beliau berpikir, mungkin itu hanya karena kecapaian saja.
Pada malam Jum'at berikutnya, Mbah Marjan mengalami hal itu lagi. Sekitar pukul 1 dinihari tiba-tiba beliau diserang rasa kantuk yang luar biasa, lalu tertidur, mengalami mimpi yang sama, kemudian terbangun. Pada kali ini, setelah terbangun Mbah Marjan mulai berpikir, "Ada apa ini?" Beliau menduga bahwa ini pasti ada orang yang sengaja mengganggu (Jawa, njarahi) atau mengirim santet kepada beliau, sehingga lelaku tidak tidur setiap malam Jum'at yang sudah beliau jalani berpuluh-puluh tahun itu di gagalkan oleh orang yang tidak suka kepada beliau.
Pada malam Jum'at berikutnya, Mbah Marj an sudah bersiap-siap 'menyambut' datangnya 'serangan' itu. Sejak sore hari, beliau sudah memberlakukan kondisi 'siaga satu'. Berbagai rapalan (Jawa, jopomontro) pun sudah beliau baca dengan sungguh- sungguh. Konsentrasi dan kewaspadaan semakin beliau tingkatkan menjelang jarum jam mendekati angka 1. Namun, apa yang terjadi? Pada sekitar pukul 1 dini hari, Mbah Marjan kembali tak kuasa menolak datangnya kantuk itu. Seperti 2 kali malam Jum'at yang lalu, Mbah
Marjan kembali tertidur, bermimpi yang persis sama, lalu terbangun,
Pada kali yang ke tiga ini, setelah terbangun, Mbah Marjan mulai merenung. Beliau bertanya-tanya di dalam hati, "Siapa gerangan orang yang bersurban dan berjubah hijau itu?
Apa maksud kata-kata orang itu?
Aku disuruh mengaji?
Apa maksudnya?
Apakah aku disuruh mengaji bersama anak-anak kecil yang sebaya dengan cucuku?
Setiap menjelang Maghrib datang ke surau dekat rumahku dengan memakai sarung, baju lengan panjang, kopyah, dan memakai bakiak?
Apakah maunya seperti itu?"
Berhari-hari peristiwa itu mengganggu hati dan pikiran beliau. Beliau enggan menceritakan peristiwa itu kepada orang lain karena peristiwa itu beliau anggap sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Bagaimana tidak, beliau yang pada waktu itu sudah kondang sebagai seorang dukun ampuh, pasiennya datang dari mana-mana, tirakat tidak tidur malam Jum'at saja kok tidak kuat. Hal itu tentu merupakan aib bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia kanuragan dan perdukunan. '
Namun, tidak dimungkiri lagi bahwa kedatangan orang berjubah hijau ke dalam mimpi beliau itu sangat merisaukan hati beliau. Perintah, "Kowe blajaro ngaji. ", itu tetap terngiang-ngiang dan masih tetap menjadi sebuah misteri. Belum terpecahkan maksud dan tujuan kalimat singkat itu. Akhirnya, beliau terpaksa menceritakan hal itu kepada seorang pemuda tetangga beliau. Pemuda itu setiap ba'da Maghrib biasa mengajar anak-anak kecil membaca Al Quran di surau dekat rumah beliau. Suatu kebetulan pula pemuda itu adalah murid Mbah Mustaqim.
Mendengar penuturan Mbah Marjan, pemuda itu lalu berkata, "Ingih" Mbah, mbenjing menawi kulo pas sowan Mbah Kyai Mustaqim, bade kulo tangletaken dateng panjenenganipun. " (Ya, Mbah, besok kalau saya pergi menghadap Syekh Mustaqim akan saya tanyakan kepada beliau). " Mbah Kyai Mustaqim kuwi sopo, le? "(Mbah Kyai Mustaqim itu siapa, tanya Mbah Marjan. Pemuda itu menjawab, "Mbah Kyai Mustaqim itu guru saya Mbah. Rumah beliau di Barat alun-alun, Kauman, Tulungagung. "
Singkat cerita, pada akhirnya Mbah Marjan oleh pemuda itu diajak sowan
kepada Mbah Mustaqim. Hal ini memang atas permintaan Mbah Mustaqim untuk bisa langsung bertemu dengan Mbah Marjan. Ketika mereka berdua telah sampai di kediaman Mbah Mustaqim, saat itu Mbah Mustaqim sedang dalam keadaan kurang enak badan. Namun, di ruang tamu berukuran kecil dan hanya bergelarkan tikar, Mbah Mustaqim dalam keadaan rebahan, tampak sedang menerima 2 orang tamu. Melihat kedatangan mereka berdua, Mbah Mustaqim kemudian mempersilakan agar mereka ikut masuk sekalian ke dalam ruang tamu itu.
Pada saat Mbah Marjan melihat Mbah Mustaqim menerima tamu sambil rebahan, Mbah Marjan membatin, ”Lho, lha wong kyaine kok gering-geringen ngene? Tapi, masio ngono wong iki yo perlu dites ngelmune dhisik " (Lho, lha wong kyainya kok sakit-sakitan begini? Tapi, meskipun begitu orang ini ya perlu dites ilmunya dulu).
Setelah beberapa saat berbincang-bincang, lalu keluarlah hidangan berupa minuman teh panas untuk para tamu. Minuman itu masing-masing diwadahi cangkir yang bertelekan lepek. Ketika oleh Mbah Mustaqim para tamu itu dipersilakan untuk meminum teh yang telah dihidangkan, keempat tamu itu pun segera memegang telinga cangkirnya masing-masing.
Ketiga tamu itu dengan mudahnya mengangkat cangkir lalu meminum tehnya. Namun, ternyata tidak dengan Mbah Marjan. Beliau tampak dengan susah payah berusaha mengangkat cangkir itu seperti tamu lainnya. Tapi, dalam waktu beberapa saat, Mbah Marjan tetap tidak berhasil mengangkatnya. Bahkan, Mbah Marjan sampai-sampai jongkok dan dengan kedua tangannya berusaha mengangkat cangkir itu. Tapi, ternyata usaha keras Mbah Marjan itu tidak membuahkan hasil. Cangkir tetap menempel di lepek, dan lepek pun masih bergeming pada tempatnya semula di atas tikar. Tidak bergeser semilimeter pun. Sementara itu, Syekh Mustaqim masih tetap dalam keadaan rebahan.
'lnsiden' yang dialami Mbah Marjan itu tentu menjadi perhatian semua yang hadir di ruang tamu itu. Wajah Mbah Marjan pun berubah menjadi merah padam. Mengetahui hal itu, dengan tenang Mbah Mustaqim lalu kembali mempersilakan para tamu itu untuk meminum teh yang telah tersedia, "Monggo, monggo dipun unjuk, bismillah ..... "(Mari. ...Mari silakan diminum, bismillah. . ..). Setelah Mbah Mustaqim mengatakan demikian, maka barulah Mbah Marjan bisa mengangkat cangkir itu dan segera meminum habis isinya. Terlintas dalam pikiran Mbah Marjan, "Waduh, jangankan sama orangnya, sama cangkimya saja saya sudah keok. "
Setelah Mbah Marjan meminum teh itu, lalu beliau dengan wajah yang tertunduk mengatakan kepada Mbah Mustaqim, ”Kawula nyuwun agunging pangapunten, Yai. " (Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Kyai). Mbah Mustaqim pun menimpali, ”Yo, ora opo-opo. " (Ya, tidak mengapa).
C. MENJADI MURID MBAH MUSTAQIM.
Namun, dasar Mbah Marjan. Beliau ternyata masih belum puas kalau belum melakukan 'uji kompetensi' terhadap calon gurunya itu. Beliau lalu menyantet Syekh Mustaqim. Atas kehendak Alloh Yang Maha Agung, ternyata santet yang beliau kirim kepada Syekh Mustaqim itu benar-benar cespleng alias manjur (Jawa, tedhas). Syekh Mustaqim pun benar-benar jatuh sakit. Dalam upaya penyembuhan itu sampai-sampai Syekh Mustaqim menyuruh muridnya untuk mencarikan air qulah 7 masjid (air yang digunakan untuk berwudlu di masjid). Namun, ternyata hal itu tidak banyak menolong. Syekh Mustaqim masih tetap merasakan sakit.
Akhirnya, beliau meminta agar Mbah Marjan sebagai 'shohibul santet' supaya datang ke Pondok Kauman guna mengobati beliau. Maka, datanglah Mbah Marjan ke Pondok Kauman. Namun, ketika sampai di mulut gang masuk ke pondok, tiba-tiba Mbah Marjan merasakan tubuhnya lemas seakan tiada bertulang dan berotot. Beliau terduduk lunglai di trotoar depan pondok. Mengetahui hal tersebut, Syekh Mustaqim kemudian menyuruh
beberapa santri beliau untuk menggotong dan membawa masuk Mbah Marjan ke ndalem (rumah) beliau.
Setelah sampai di dalam, Mbah Marjan pun lalu dibaringkan di samping Syekh Mustaqim yang pada saat itu juga tengah berbaring. Maka, terjadilah pemandangan yang aneh tapi nyata, 'pasien' dan 'dokternya' sama-sama mengalami sakit. Selanjutnya, 'si pasien' justru berinisiatif mengobat, si dokter' terlebih dahulu. Syekh Mustaqim mengobati Mbah Marjan dengan cara disuruh meminum air putih yang sudah beliau beri doa. Dan, alhamdulillah, Mbah Marjan pun sembuh seketika itu pula. Aneh bin ajaib, seiring dengan kesembuhan Mbah Marjan, Syekh Mustaqim pun ikut-ikutan jadi sembuh juga. Kedua beliau itu sehat wal ’afiyat seperti sediakala.
Singkat cerita, akhirnya Mbah Marjan pun menjadi santrinya Mbah Mustaqim. Ketika itu Syekh Mustaqim berkata kepada Mbah Marjan, "Sampeyan itu, ibarat ladang, adalah tanah ladang yang subur. Tinggal mau ditanami tanaman apa, pasti akan tumbuh dengan baik."Rangkaian peristiwa yang dramatis ini terjadi sekitar tahun 1950.
Diceritakan bahwa ketika untuk pertama kalinya Mbah Marjan suluk di Pondok Kauman itu, beliau merasakan penderitaan yang amat sangat. Beliau mengatakan bahwa selama beberapa minggu pertama beliau suluk, setiap kali beliau berwirid di musholla pondok, beliau selalu merasakan seakan-akan ada sebuah linggis yang menancap di punggung sampai ke pinggangnya. Beliau merasakan sakit yang tak terperikan.
Sementara itu, kedua belah kaki beliau pun ketika dilipat dalam posisi duduk bersila, juga terasa seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Saking sakitnya, bahkan beliau tidak jarang sampai menangis. Semua rasa sakit dan derita yang luar biasa itu beliau telan dan tahan sekuat-kuatnya. Beliau selalu teringat pesan Syekh Mustaqim agar beliau senantiasa bersabar dan menyerahkan jiwa raganya kepada Alloh SWT. Dan, pada akhirnya secara perlahan-lahan rasa sakit itu pun semakin berkurang. Hal ini adalah seiring dengan keluarnya khodam ilmu Kejawen dari diri Mbah Marjan.
Setelah beberapa bulan Mbah Marjan menjadi murid Syekh Mustaqim banyak kemajuan yang beliau alami. Hal ini karena memang ketaatan dan sifat ta'dhim beliau kepada Syekh Mustaqim. Berkata Mbah Kyai Imam Muslim, salah satu murid Syekh Mustaqim, yang waktu itu sering membantu pelaksanaan khushusiyyah di Pondok Kauman, "Kalau masalah menjalankan wirid, Mbah Marjan itu memang orang yang sangat luar biasa.
Beliau mampu duduk bersila dengan sikap yang tegak, tidak bergerak sama sekali, dalam waktu berjam-jam, dan bahkan dalam keadaan dirubung nyamuk."Selain itu, Mbah Marjan sangat membanggakan Syekh Mustaqim sebagai guru beliau.
Selain itu, pengalaman beliau berpuluh-puluh tahun berguru ilmu Kejawen merupakan salah satu 'modal' keberhasilan beliau berguru kepada Syekh Mustaqim. Bagi orang yang sedang berguru ilmu Kejawen, merupakan sebuah kewajiban untuk memuliakan dan menjunjung tinggi kedudukan seorang guru. Mereka harus meyakini dan menanamkan kuat-kuat dalam jiwa mereka salah satu falsafah Jawa yang mengatakan bahwa guru dan kedua orang tua adalah 'Pangeran katon' (Tuhan yang kelihatan). Setiap ucapannya wajib ditaati.
Dari semua yang dijalankan Mbah Marjan itu, Alloh Yang Maha Agung pun mengaruniai banyak kelebihan kepada beliau. Doa dan ucapan beliau sangat mustajab. Berkata Romo Kyai Abdul Dj alil Mustaqim, "Mbah Marjan itu, apa yang beliau ucapankan selalu menjadi kenyataan (Jawa, Idu Geni = Ludah Api). Hal itu karena beliau selalu meyakini bahwa apa yang beliau ucapkan selalu bersamaan dengan kehendak Alloh SWT."
Kalau mengobati orang sakit, beliau cukup mengucapkan satu kata saja, "Mari!!!.....” atau "Waras!!!....." (Sembuh!!!.…). Kalau kemudian orang yang sakit itu akhirnya benar-benar sembuh, beliau lalu berkata, "Wong muride Kyai Takim, nambani wong lara kok dadak nggae suwuk atau jamu barang. Kesuwen.... " (Orang muridnya Mbah Mustaqim, mengobati orang sakit kok harus pakai mantera atau jamu segala. Kelamaan. . . .).
Kalau beliau menginginkan situasi cuaca yang sedang panas berganti hujan atau sebaliknya, sebelumnya hujan berubah menjadi terang benderang beliau cukup keluar ke halaman rumah lalu memandang ke arah langit kemudian mengucapkan, ”Udan!!!...." (Hujan!!!….), maka dalam waktu singkat hujan pun turun dengan lebatnya. Demikian pula sebaliknya.
Di gambarkan oleh Romo Kyai Abdul Djalil bahwa Mbah Marjan itu orangnya lugu, suka bercanda, memiliki sense of humor yang kental, kalau berbicara ceplas-ceplos, suka blak-blakan (Jawa, ndlodog).
Dalam episode "Mbah Marjan Naik Haji", narasumber tentang kelebihankelebihan Mbah Marjan selama dalam perjalanan ibadah haji, diceritakan oleh Mbah Kyai Asrori lbrahim. Beliau, pada waktu itu, selain murid senior Syekh Mustaqim, di Pondok PETA juga bertugas sebagai Katib (sekretaris) dan salah satu pengisi pengajian ba'da khususiyah malam Selasa. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Panggung yang terletak tidak jauh dari Alun-alun Tulungagung ke arah Selatan. Beliau adalah juga penulis kitab "Durrotus Salikin" (kitab tentang kaifiyah atau tatacara mengamalkan thoriqot Syadziliyah) yang sampai sekarang masih dipakai di Pondok PETA.
Ketika Mbah Marjan mengerjakan ibadah haji pada tahun 1963 (1382 H), secara bersamaan beliau termasuk dalam rombongan jamaah haji kabupaten Tulungagung yang waktu itu masih memakai kapal laut sebagai sarana transportasinya. Mbah Kyai Asrori juga diminta Syekh Mustaqim untuk memandu manasik hajinya Mbah Marjan.
Sebagian besar cerita tentang Mbah Marjan yang fenomenal ini penulis peroleh dari penuturan almaghfurlah Romo Kyai Abdul Djalil Mustaqim. Untuk menceritakan tentang kelebihan kelebihan Mbah Marjan perlu dibagi menjadi beberapa episode.
HAFAL ASMA' BALADIYAH HANYA DARI MENDENGAR SAJA.
Pada sekitar tahun 1955, Mbah Mustaqim memerintahkan kepada para santri beliau agar mengadakan gerakan riyadloh suatu aurod yang dinamakan asma Baladiyah yang dimaksud 'gerakan' adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara massal. Wirid itu dijalani dengan cara suluk di Pondok Kauman selama 7 hari. Cukup banyak santri beliau yang pada saat itu diijazahi aurod tersebut. Oleh karena kondisi pondok yang pada waktu
itu tidak seberapa luas maka murid murid akan riyadloh Asma'Baladiyah pun diatur secara bergelombang
Semua murid menerima catatan aurod tersebut dari Syekh Mustaqim dalam bentuk tulisan Arab. Hal ini tentu menimbulkan masalah besar bagi Mbah Marjan. Beliau. jangankan tulisan Arab, tulisan Latin pun beliau tidak bisa
membacanya alias buta huruf. Beliau hanya bisa membaca dan menulis aksara Jawa saja.
Ketika murid-murid lainnya sedang tekun menyimak catatan dan menghafalkan aurod itu, Mbah Marjan pun kebingungan sendiri. Lembaran catatan aurod yang beliau terima langsung dari Mbah Mustaqim itu pun hanya beliau tenteng ngalor ngidul . Tidak ada seorang santri pun yang mempedulikan beliau. Mereka semua tampak serius dengan lembaran kertasnya masingmasing. Dalam kondisi terpaksa, akhirnya Mbah Marjan pun meminta tolong kepada salah seorang teman santri yang bernama Mbah Jalal untuk membacakan bunyi aurod tersebut. Mbah Jalal adalah orang Banjar yang rumahnya di kelurahan Kepatihan, Tulungagung.
Dengan wajah yang memelas, Mbah Marjan memohon kepada sahabatnya itu, "Lal, mbok aku njaluk tulung wacakno wirid kuwi, to. Aku ora iso moco blas lho. Masio ditulis nggae tulisan Latin, aku ya panggah ora iso moco. Mulo tulung aku wacakno ae yo, mbok menowo aku terus iso apal. Yo, Lal, yo?" (Lal, aku minta tolong, kamu bacakan wirid itu, to. Aku nggak bisa membaca sama sekali loh. Walaupun ditulis dengan huruf Latin pun, aku ya tetap nggak bisa membaca. Oleh karena itu, tolong kamu bacakan saja ya, siapa tahu aku terus bisa hafal. Ya, Lal, ya?)
Mendengar permintaan sahabatnya itu, Mbah Jalal pun mengatakan, "Jan,
ngertenono yo, wirid iki sak liyane dowo, kuwi yo angel apal-apalane.
Wong wirid iki lho duduk boso Arab tapi boso Suryani, bosone Nabi
Sulaiman. Dadi masio iso moco Arab, apal-apalane yo panggah angel. Opo maneh kowe sing ora iso moco babar pisan. Aku ae kiro-kiro sampek mati yopanggah ora iso apal. " (Jan, perlu kamu ketahui, wirid ini selain panj ang juga sulit dihafalkannya. Wirid ini bukan bahasa Arab tapi bahasa Suryani, bahasanya Nabi Sulaiman. Jadi, meskipun bisa membaca Arab, hafal hafalannya ya tetap sulit. Apa lagi kamu yang tidak bisa membaca sama sekali. Aku saja kira-kira sampai mati ya tetap nggak bisa hapal).
Mendengar penuturan Mbah Jalal, Mbah Marjan pun tidak menyerah. Beliau tetap menghiba-hiba minta tolong Mbah Jalal untuk membacakan ."Wis to Lal, tulung wacakno thok ae, engko tak rungokne. " (Sudahlah. Lal. tolong bacakan saja, nanti aku dengarkan). Mbah J alal menjawab, Kowe kuwi lho diomongi kok ora percoyo, to? " (Kamu itu lho dikasih tahu nggak percaya, to?)
"Wis to, Lal, tulung wacakno sepisan ae. Aku pengin krungu. " (Sudahlah, Lal. tolong bacakan sekali saja. Aku kepingin dengar), pinta Mbah Marjan. Karena terus menerus diminta, di samping timbul rasa kasihan juga, akhirnya Mbah Jalal pun memenuhi permintaan Mbah Marjan dengan membacakan aurod itu, "Yo wis, lek ngono sak iki rungokno. (Ya sudah, kalau begitu sekarang dengarkan). Birhaatihin Kariirin Tatliihin Thuuronin Mazjalin ....... " dan seterusnya sampai akhir bacaan aurod tersebut. Mbah Marjan pun dengan seksama mendengarkan suara Mbah Jalal membacakan aurod itu.
Setelah selesai Mbah Jalal membacakan aurod itu, Mbah Marjan lalu minta kepada Mbah Jalal agar beliau membacakannya sekali lagi. Untuk yang ke dua kalinya Mbah Jalal dengan berat hati menuruti permintaan sahabatnya itu. Setelah selesai bacaan yang ke dua, Mbah Marjan kembali meminta untuk dibacakan sekali lagi.
Dengan menggerutu dan agak geregetan, Mbah Jalal membacakan untuk yang ke tiga kalinya. Setelah selesai bacaan yang ke tiga, maka Mbah Maijan pun lalu mengucapkan terima kasih kepada Mbah Jalal karena telah bersedia memenuhi permintaan beliau, "Yo wis Lal, matur nuwun, yo?. " (Ya sudah, Lal, terima kasih, ya?). Setelah itu, Mbah Marjan kemudian berdiri lalu naik ke lantai atas musholla pondok. Kira-kira lima belas menit kemudian, Mbah Marjan turun lagi menemui Mbah Jalal yang saat itu masih dengan serius menghafal aurod Asma 'Baladiyah itu.
Mbah Marjan mendekati Mbah Jalal, lalu beliau berkata, "Lal, wirid Baladiyah kuwi unine Opo ngene? Jajal cocokno, Lal. " (Lal, wirid Baladiyah itu bunyinya apa begini? Coba cocokkan, Lal). Dengan suara yang tegas dan jelas Mbah Marjan kemudian membaca Asma 'Baladiyah itu dari awal sampai akhir dengan sempurna, jelas, tartil, dan tanpa ada kesalahan satu kata pun.
Dengan terheran-heran, setengah tidak percaya, Mbah Jalal mengatakan kepada Mbah Maljan, "Lho, Jan.....? ? ? Bener kuwi, Jan. Sak kata ae ora enek sing salah. Kowe kok wis apal to, Jan? "
(Lho, Jan .....??‘? Benar itu, Jan. Satu kata pun tidak ada yang salah. Kamu kok sudah hafal to, Jan? &Lalu, sambil berdiri, Mbah Marjan berkata, "Yo wis, Lal, lek ngono Iki aku arep wiridan Asma' Baladiyah sing diparingi Mbah Kyai Mustaqim Kowe lek arep ngapalne yo ngapalno sik. Sikyo, Lal ? " (Ya sudah, Lal, kalau begitu Ini aku akan wiridan Asma' Baladiyah yang diberi Syekh MuS' taqim Kamu kalau mau menghafalkan ya hafalkan dulu. Sudah ya, Lal .….?). Kemudian Mbah Marjan lalu masuk ke dalam musholla untuk mengamalka asma Baladiyah.
TULISAN ARAB YANG TERKENA TUMPAHAN AIR KOPI.
Di lain hari, Mbah Marjan beserta santri-santri lainnya kembali menerima ijazah suatu aurod dari Syekh Mustaqim. Sebagaimana lazimnya, Syekh Mustaqim menyerahkan lembaran kertas berisi catatan Wirid tersebut dalam bentuk tulisan Arab kepada masing-masing santri. Pada zaman itu, tehnik penggandaan tulisan tangan maupun ketikan masih dengan sistem stensil, belum ada mesin fotocopy.
Hal ini, bagi Mbah Marjan, selain merupakan suatu berkah karena mendapatkan wirid tambahan dari guru beliau, tapi juga sekaligus merupakan 'musibah' karena beliau sama sekali tidak bisa membacanya. Seperti yang sudah-sudah, Mbah Marjan kemudian meminta tolong teman-teman beliau sesama pesuluk di Pondok PETA untuk membantu membacakannya. Namun, karena teman-teman beliau waktu itu masing-masing juga sedang 'sibuk' menghafalkan wiridannya, maka dengan cara yang halus mereka semua terpaksa menolak permintaan Mbah Marjan. Hal ini tentu menjadikan Mbah Matjan semakin bertambah sedih dan galau. Mbah Marjan merasa kebingungan dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Di tengah kegalauan dan kebingungannya itu, beliau lalu duduk termenung
sambil menyaksikan teman-teman beliau yang tengah 'asyik' membaca dan menghafalkan aurod yang baru mereka terima dari Syekh Mustaqim. Menyaksikan teman-teman beliau seperti itu, beliau pun merasakan kesedihan yang amat sangat. Ketika itu, beliau meletakkan kertas catatan aurod itu di lantai di hadapan beliau duduk bersila. Di sebelah kertas itu terdapat segelas kopi yang baru beliau minum sedikit. Tidak dinyana-nyana, dari arah samping beliau tiba-tiba ada 2 ekor kucing yang sedang berkejar-kejaran. Tak pelak, gelas kopi beliau itu pun ditabrak kucing tersebut, "Praaaang.… ".
Maka, tumpahlah segelas air kopi itu ke lantai dan menggenangi kertas catatan aurod milik beliau. Tentu saja, kejadian itu membuat terkejut semua orang yang melihatnya, terutama beliau sendiri. Maka, perasaan sedih beliau pun menjadi semakin bertambah. Dengan hati yang hancur berkeping-keping, beliau mulai mengangkat kertas yang sudah basah kuyup terkena air kopi itu dari lantai.
Ketika beliau mengangkat dengan hati-hati kertas itu, tiba-tiba beliau merasa hati beliau menjadi terbuka dan terang benderang. Aneh bin ajaib, beliau pada saat itu juga menjadi bisa membaca dengan lancar tulisan yang terdapat di kertas basah itu. Selanjutnya, setelah beliau membersihkan tumpahan air kopi itu, beliau lalu membaca dan menghafalkan bacaan aurod itu seperti teman-teman beliau.
MEMBUKA LEMARI BESI YANG TERKUNCI.
Pada suatu pagi, Mbah H. Syamsul Bahrun, yang juga murid Mbah Mustaqim, ketika di toko emas beliau yang terletak di pasar Wage, kota Tulungagung, mengalami permasalahan, yaitu lemari besi yang berisi barang dagan gan berupa perhiasan emas dan uang tunai, macet alias tidak bisa dibuka.
Dalam keadaan seperti itu, terlintas dalam pikiran Mbah H. Syamsul untuk meminta bantuan sahabatnya, Mbah Marjan. Maka, dicegatlah Mbah Marjan yang biasanya lewat di depan pasar Wage dengan mengendarai dokar sepulang dari khususiyah di Pondok Kauman menuju ke rumah beliau di desa Punjul, kecamatan Karangrejo.
Ketika Mbah Marjan benar-benar melintas di depan toko Mbah H. Syamsul maka oleh Mbah H. Syamsul pun beliau diminta untuk singgah sebentar. Setelah turun dari dokar, Mbah Marjan pun bertanya kepada Mbah H.Syamsul, "Enek opo, Ji? Kadingaren sampeyan kok ngampirne aku. Aku arep sampeyan tukokne sarapan opo piye?" (Ada apa, J i? Tumben kamu kok meminta aku singgah. Memangnya aku mau kamu belikan sarapan?)
Dijawab oleh Mbah H. Syamsul, " Wis, to Jan, masalah sarapan kuwi masalah gampang. Singpenting sak iki aku tulungono sik. Iki mau lemari besiku kuwi macet, ora kenek dibukak. Sak iki tulung bukakno. " (Sudahlah Jan, masalah sarapan itu masalah gampang. Yang penting sekarang ini aku kamu tolong dulu. Ini tadi lemari besiku itu macet, tidak bisa dibuka Sekarang tolong bukakan). Mbah Marjan pun menimpali, "Lho yo ora ngono, Ji. Mbarang-mbarang kuwi sing penting luwih dhisik lemah lempunge, genah petunge, Ji. Mosok mbukak lemari besi ngono kuwi opahe yo gur sarapan thok?" (Lho, bukannya begitu, Ji. Segala sesuatu itu yang penting harus jelas terlebih dahulu hasil kesepakatannya. Masa sih membukakan lemari besi begitu honornya kok ya cuma sarapan saja?)
Dengan setengah menahan geli, Mbah Haji Syamsul mengatakan kepada sahabatnya yang polos dan lugu itu, ”Oalah, Jan Jan ..... mosok sampeyan kuwi karo konco aeyo koyok ngono kuwi ? ” (Oalah, Jan. . .., Jan. . .. masak sih kamu itu sama teman ya seperti itu?). Dijawab oleh Mbah Marjan, "Lho, Ji, konco yo konco, tapi petunge kuwiyo kudu genah dhisik. ” (Lho, Ji, teman ya teman, tapi kesepakatan itu ya harus jelas terlebih dahulu).
Singkat cerita, maka Mbah Marjan lalu menuju ke tempat lemari besi itu berada. Setelah sampai di depan lemari besi itu, Mbah Marjan langsung menarik handle pintu lemari besi itu sambil membaca basmalah, "Bismillaahir rokhmaanir rokhiim ..... ", maka terbukalah pintu lemari besi itu.
Setelah itu, maka sepincuk nasi pecel, segelas kopi panas, dan sebungkus rokok pun segera terhidang di depan Mbah Marjan. Pada saat Mbah Haji Syamsul bersalaman dengan Mbah Marjan, ketika beliau akan pulang
selembar amplop pun sempat terselip kejari - jari tangan beliau.
MBAH MARJAN DAN MBAH KYAI MACHROES ALI Lirboyo.
Sejak Mbah Marjan 'masuk Islam', terjadilah persahabatan yang sangat akrab antara beliau dan Mbah Kyai Machroes Ali, Lirboyo, Kediri. Kedua beliau ini saling bersilaturrahmi dan benar-benar saling hormat menghormati. Mbah Marjan sangat menghormati Mbah Kyai Machroes karena beliau adalah seorang yang sangat alim dan wira'i, serta merupakan pemimpin pondok pesantren besar dan memiliki santri yang lumayan banyak.
Sementara itu, Mbah Kyai Machroes juga sangat menghormati Mbah Marjan karena Mbah Kyai Machroes tahu persis akan kemustajaban doa Mbah Marjan serta ketinggian derajat ilmu hakekat dan ma'rifat yang dikaruniakan Alloh SWT kepada beliau. Malahan, setiap Mbah Maijan berkunjung ke kediaman Mbah Kyai Machroes dan pada saat itu tiba waktunya sholat, maka apabila beliau berdua mendirikan sholat berjamaah, Mbah Kyai Machroes selalu mempersilakan Mbah Marjan untuk menjadi imamnya.
Padahal semua orang tahu kalau Mbah Marjan itu bacaan Arabnya sangat tidak karu-karuan. Lha wong "alkhamdulillahi robbil 'alamiin " saja, beliau membacanya "alkamdu lillahi robbil ngalamin ". Hal itu bisa dimaklumi karena Mbah Marjan memang sama sekali tidak pernah belajar mengaji. Selain itu, faktor usia dan lidah kiranya sudah tidak mungkin lagi bacaan Arab Mbah Marjan itu untuk diperbaiki.
Ketika ada orang bertanya kepada Mbah Kyai Mahroes, kenapa setiap sholat berjamaah dengan Mbah Marjan, beliau selalu mempersilakan Mbah Marjan untuk mengimaminya. Dijawab oleh Mbah Kyai Mahroes, "Lek mungguhe menungso, sholat sing bener kuwiyo koyo sholatku. Tapi mungguhe Gusti Allah Ta 'ala sholat sing bener kuwi yo koyo sholate Mbah Marjan kuwi, loh ...... " (Kalau menurut pandangan manusia, sholat yang benar itu ya seperti sholatku. Tapi, menurut pandangan Alloh SWT, sholat yang benar itu ya seperti sholatnya Mbah Marjan itu, loh....)
Pada suatu hari, Mbah Kyai Mahroes berkeinginan untuk bersilaturahmi ke rumah Mbah Marjan dengan mengajak serta isteri beliau. Ketika masih di rumah, Mbah Kyai Mahroes sudah berniat akan memberi uang kepada Mbah Marian. Uang yang akan diberikan kepada Mbah Marjan itu sejumlah Rp. 200.000,(sebagai misal nilai uang sekarang). Perjalanan menuju ke rumah Mbah Matjan, waktu itu, ditempuh dengan menaiki kendaraan umum yang disebut 'oplet'.
Ketika masih di terminal Kediri, Mbah Mahroes tiba-tiba berubah pikiran bahwa yang akan dihaturkan kepada Mbah Marjan itu tidak jadi berupa uang tunai tapi diwujudkan dalam bentuk barang. Hal ini karena setelah berunding dengan isteri beliau, ada rasa sungkan dan terasa kurang familier kalau pemberian beliau itu berupa uang tunai. Maka, uang itu pun segera dibelikan barang berupa beras, gula, dan rokok yang pada akhirnya jumlah belanjaan itu tidak sampai senilai Rp. 200.000,.
Singkat cerita, sampailah Mbah Kyai Mahroes dan isteri beliau di rumah Mbah Marjan. Ketika beliau berdua sampai di pintu gerbang halaman rumah Mbah Marjan yang halamannya memang cukup luas, tampak di depan pintu rumah, Mbah Marjan dengan berkacak pinggang pada tangan kiri dan telapak tangan kanan beliau ditengadahkan ke arah Mbah Kyai Mahroes, sambil berkata, "Hei, Kyai Mahroes ...... , gowonen rene beras ( sekian kilo), gula (sekian kilo), rokok merek anu (sekian pak), karo saksusuke (sekian rupiah). " (Hei, kyai Mahroes....., bawa ke sini beras (sekian kilo), gula (sekian kilo), rokok merek anu (sekian bungkus), dan uang kembaliannya ( sekian rupiah).
Semua itu disebutkan Mbah Marjan dengan tegas, jelas, dan jumlah yang sama persis seperti yang dibawa Mbah Kyai Mahroes. Tak pelak, maka Mbah Kyai Mahroes dan Mbah Nyai pun langsung saling pandang seraya tertawa terpingkal-pingkal dan geleng-geleng kepala.
MENGOBATI ANAK JURAGAN SEPATU.
Nama Mbah Marjan sebagai dukun ampuh semakin terkenal sejak beliau menjadi murid Mbah Mustaqim. Setiap hari rumah beliau tidak pernah sepi dari orang-orang yang datang dari berbagai daerah untuk minta tolong kepada beliau mengatasi berbagai permasalahan mereka.
Pada suatu hari, seperti biasanya, banyak tamu yang datang ke rumah beliau. Tamu-tamu itu duduk saling berhadapan di kursi yang ditata memanjang dengan meja di tengahnya. Sedangkan, Mbah Marjan duduk di kursi paling ujung, menghadap ke arah pintu keluar. Di antara para tamu itu, ada orang Tionghoa dari Sidoarjo yang memiliki usaha pembuatan sepatu. Tamu itu bertujuan untuk memintakan kesembuhan bagi anaknya, seorang laki-laki berusia sekitar 15 tahun. Anak itu menderita sakit tidak bisa berjalan alias lumpuh.
Singkat cerita, setelah papa anak itu menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu untuk meminta kesembuhan bagi anaknya, maka kemudian Mbah Marjan memandang tajam ke arah anak itu. Anak itu duduk di kursi yang paling ujung dekat pintu. Kemudian, Mbah Marjan menanyai anak itu seputar nama, umur, dan penyakit yang dideritanya. Setelah itu, Mbah Marjan lalu menyuruh agar anak itu berdiri. Mendengar perintah Mbah Marjan, tentu saja anak itu kebingungan. Dia menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa dia tidak mampu melakukan perintah Mbah Marjan.
Si papa pun ikut menimpali, "Mohon maaf, tidak bisa, Mbah. Anak saya ini tidak bisa berdiri, Mbah. Lha wong dia masuk ke sini saja tadi harus dibopong, kok. " Mbah Marjan tidak mempedulikan kata-kata si papa. Beliau kembali mengulangi perintahnya, "Ngadek!!! ”(Berdiri!!! .....) Kembali anak itu menggelengkan kepalanya. Untuk kali yang ke tiga, Mbah Marjan kembali mengulangi perintahnya dengan intonasi layaknya orang membentak, "Wis to ..... , ngadek! !! "(Sudahlah. . .., berdiri! ! !…).
Lalu, anak itu dengan wajah ketakutan melihat ke arah papanya. Si papa kemudian memberi isyarat kepada anaknya agar menuruti perintah Mbah Marjan. Dengan perlahan-lahan dan bersusah payah anak itu mencoba untuk berdiri. Semula anak itu berdirinya tidak bisa sempurna. Kakinya terlihat agak bergetar. Itu pun dengan kedua tangan yang tetap berpegangan pada kursi yang didudukinya. Tapi, beberapa saat kemudian ternyata itu bisa berdiri tegak dan sempurna. Kemudian, Mbah Marjan berkata, Hei... kamu anak muda kok berdiri di depan orang-orang tua, to? Tahu nggak, itu namanya tidak sopan? Sana. . .., keluar sana." Di luar kesadarn dengan tertatih-tatih anak itu lalu berjalan ke arah pintu keluar.
Menyaksikan si Sinyo bisa berjalan, si papa dan si mama tampak kegirangan. Keduanya saling berpandangan dengan hati yang berbunga-bunga, Mata mereka pun berbinar-binar. Mereka berdua lalu mengikuti anaknya yang berjalan keluar. Kemudian Mbah Marjan kembali berteriak, "Hey, kamu anak muda berjalan kok pelan-pelan (Jawa, klunak-klunuk), seperti orang jompo saja. Lari!!! ...." Sekali lagi, tanpa sadar, anak itu kemudian berlari,
Menyaksikan anak mereka bisa berjalan bahkan berlari, si papa dan si mama pun spontan juga ikut-ikutan berlari mengejar si Sinyo sampaidi ujung halaman rumah Mbah Marjan. Melihat anak beranak itu berlarian keluar, maka Mbah Marian pun juga ikut-ikutan berlari keluar mengejar mereka sambil berteriak, "Hey, hey mandheg... !!! Kinanganane endi?' (Hey, hey, …, berhenti...!!! Honomya mana?). Dengan tersipu-sipu menahan malu, si papa kemudian kembali ke arah Mbah Manan lalu menciumi tangan si Mbah seraya memohon maaf dan mengucapkan terima kasih. Dan, ending-nya, sebuah bungkusan berisi fulus pun lalu berpindah ke tangan beliau.
Sementara itu, para tamu lainnya yang juga ikut-ikutan keluar, menyaksikan kejadian langka itu spontan tertawa terpingkal-pingkal sambil menggeleng-gelengkan kepala.
MENGERJAI ORANG SELINGKUH.
Peristiwa ini dialami oleh sepasang suami isteri, sebut saja Paijo dan Sinta warga suatu desa di kecamatan Turen, kabupaten Malang. Pada hari mereka berdua datang ke rumah Mbah Marjan untuk menyampaikan keluhan mereka yang merasa ketenteraman rumah tangga mereka telah di ganggu oleh orang lain. Orang yang mengganggu itu, sebut saja namanya H. Seling. Bagi pasangan Paijo dan Sinta, serta umumnya masyarakat desa setempat, H. Seling bukanlah orang sembarangan. Dia adalah tokoh masyarakat yang disegani dan merupakan orang terkaya di desa itu.
Di sisi lain, H. Seling memiliki tabiat buruk yaitu suka mengganggu perempuan cantik, termasuk Sinta, isteri Paijo. H. Seling acap kali secara sembunyi-sembunyi menemui Sinta pada setiap kesempatan. Dia selalu merayu dan mengajak Sinta untuk melakukan perbuatan yang terlarang. Memang, selain masih muda, Sinta juga memiliki paras wajah yang sangat cantik.
Meskipun sudah berkali-kali Sinta menolak ajakan H. Seling, tapi si 'hidung belang' itu tetap nekat saja. Sementara itu si Paijo, mendengar kalau isterinya diganggu H. Seling, dia tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana tidak, selain belum ditemukan bukti dan adanya saksi atas perbuatan H. Seling, Paijo juga merasa takut kepada H. Seling yang memiliki banyak kaki tangan. Oleh karena itulah, kemudian pasangan suami isteri itu lalu sowan kepada Mbah Marjan di Tulungagung.
Setelah berada di hadapan Mbah Marjan, si Paijo lalu menceritakan secara lengkap dan detail permasalahan yang sedang dihadapinya. Mbah Marjan pun menyimaknya dengan seksama. Selanjutnya, beliau memberikan pengarahan kepada Paijo dan Sinta. Oleh Mbah Marjan, si Paijo diberi sebungkus garam yang nantinya agar garam itu disebar-sebarkan ke seluruh ruangan dan halaman rumah Paijo. Kemudian, Mbah Marjan juga menyampaikan suatu skenario yang harus dilakoni Paijo dan Sinta.
Mbah Marjan mengatakan bahwa Paijo dan Sinta harus bersandiwara. Paijo, pada hari yang sudah direncanakan, harus berlagak seakan-akan mau pergi jauh. Dan, apabila nanti setelah 'kepergian' si Paijo, kemudian temyata H. Seling benar-benar mendatangi Sinta yang sedang sendirian di rumah, maka Sinta harus mau menerimanya dengan baik, tidak boleh marah.
Bahkan, kata Mbah Marjan lagi, apabila H. Seling menciumi Sinta dan
minta agar Sinta melepas seluruh pakaiannya pun, Sinta harus mau menurutinya. Mendengar 'skenario gila' itu, si Paijo dan Sinta pun langsung terperanjat. "Ah, ya.. jangan to, Mbah, " kata si Paijo. Namun, Mbah Marjan minta agar mereka berdua mengikuti saja apa yang sudah beliau katakan tanpa banyak bertanya.
Dan akhirnya, skenario itu pun dimainkan. Pada hari H, hal pertama yang dilakukan Paijo adalah menebarkan garam pemberian Mbah Marjan ke seputar rumah. Setelah itu, kemudian dia berpenampilan klimis layaknya orang yang akan bepergian jauh. Tas koper berisi pakaian pun sudah disiapkan. Singkat cerita, beberapa puluh menit setelah si Paijo pergi meninggalkan mmah, H. Seling benar-benar datang ke rumah Paijo. Dia langsung menemui Sinta yang saat itu sedang berada di dapur.
Di dapur itulah H. Seling mulai melancarkan jurus-jurus rayuan gombalnya kepada Sinta. Sebagai seorang perempuan yang telah bersuami, sebagaimana biasanya, Sinta selalu menjawab dan menanggapi dengan ketus apa saja yang dikatakan H. Seling. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat H. Seling. Bahkan, mengetahui suami Sinta sedang tidak berada di rumah, H . Seling pun malah semakin nekat.
Akhirnya, dipeganglah tangan Sinta dan digelandangnya menuju ke dalam kamar tidur. Sedangkan kali ini, Sinta tidak seperti biasanya yang selalu menepis tangan H. Seling yang mulai nakal. Sesuai dengan skenario, Sinta pun tidak melakukan perlawanan.
Namun, apa yang kemudian terjadi? Setelah kira-kira 15 menit H. Seling dan Sinta berada di dalam kamar, tiba-tiba terdengar suara jeritan H. Seling memecah keheningan pagi di desa itu. H. Seling berteriak-teriak, "Manukku ilang..., manukku ilang... " (Burungku hilang. . ., burungku hilang. . .).
H. Seling mengulang-ulang teriakannya itu sambil meraung-raung menangis. Kedua telapak tangannya tampak menutupi selangkangannya. Memang, pada saat H. Seling akan melakukan perbuatannya, aneh bin ajaib tiba-tiba 'burung'
H. Seling hilang tak tentu rimbanya. Selangkangan
H. Seling, tempat di mana biasanya 'si burung' bertengger pun menjadi halus, sehalus jalan tol. Sementara itu, di sudut kamar tampak Sinta sedang mengenakan pakaiannya kembali dan merapikan rambutnya.
Bersamaan dengan itu, datanglah si Paijo dengan diiringkan beberapa orang teman dan tetangganya. Melihat Paijo datang, tentu saja si H. Seling menjadi serba salah. Perasaan takut, malu, dan bersalah pun campur aduk menjadi satu. Saat itu H. Seling hanya bisa menangis dan kebingungan karena kehilangan 'benda pusaka'-nya. Orang-orang yang berada di situ pun akhirnya menjadi heboh.
Setelah situasi agak mereda, si Paijo lalu menceritakan semuanya kepada H. Seling dan orang-orang yang hadir di situ, mulai dari awal hingga peristiwa itu terjadi. Mendengar penuturan si Paijo, maka
H. Seling pun kemudian menghiba-hiba kepada Paijo untuk segera diantarkan ke rumah Mbah Marjan.
Singkat cerita, akhimya berangkatlah mereka bertiga, plus seorang Sopir, dengan mengendarai mobil milik H. Seling ke rumah Mbah Marjan. Pada zaman itu, tidak sembarang orang yang bisa sampai memiliki mobil. Selama dalam perjalanan, H. Seling tak henti-hentinya menangis menyesali perbuatannya. Berkali-kali pula dia meminta maaf kepada Paijo dan Sinta.
Setelah sampai di rumah Mbah Marian, maka si Paijo pun langsung menceritakan semuanya kepada Mbah Manan. Kemudian Mbah Maljan bertanya kepada H. Seling, "Lha sak iki karepmu piye, pak Kaji?” (Lha sekarang apa yang kamu maui, pak Haji). Dengan tetap menangis tersedu-sedu, H. Seling berkata, "Kulo nyuwun ngapunten, Mbah. Kulo kapok saestu. Kulo janji pisan-pisan mboten ajeng mbaleni malih. Trus, niki sing langkung penting malih, Mbah, pripun carane supados 'manuk' kulo saget mbalik malih? " (Saya mohon maaf, Mbah. Saya kapok beneran. Saya berjanji sekali pun tidak akan mengulangi lagi. Trus, ini yang lebih penting lagi, Mbah, bagaimana caranya supaya 'burung' saya bisa kembali lagi?)
Mbah Marjan bertanya lagi, "Lho, lha 'manukmu' opo ilang to pak Kaji?" (Lho, emangnya 'burungmu' hilang to pak Haji?). "Nggih, Mbah, 'manuk' kulo ical ket enjing wau. " (Ya, Mbah, 'burung' saya hilang sejak tadi pagi).
jawab H. Seling diiringi tangisnya yang semakin menjadi-jadi. 'Hey 'manukmu' kuwi ora ilang, loh. Lha kuwi to…?" (Hey..., 'burungmu' itu tidak hilang, loh. Lha itu to....?). Sambil berkata begitu, Mbah Marjan menunjuk ke arah salah satu sudut atap (plafon) di ruang tamu itu.
Bagaikan dikomando, spontan semua orang yang hadir di ruangan itu serentak mendongakkan kepala dan mengarahkan pandangan mereka ke arah yang ditunjukkan Mbah Marjan. Memang benar, tampak 'burung kesayangan' H. Seling menempel dan bergelantungan di salah satu sudut plafon ruang tamu itu. Mereka, semua yang berada di situ, terperanjat dan merasa heran menyaksikan pemandangan langka itu.
"Ya Allah ..... ,
astaghfirulloh 'adhiim ..... ",
seru mereka hampir bersamaan.
Sedangkan Sinta, satu-satunya perempuan yang berada di ruangan itu, ketika melihat 'burung cucakrawa' itu, dengan tersipu-sipu dia segera menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sementara itu, H. Seling demi melihat 'benda pusakanya' itu langsung berteriak histeris, "Nggih, Mbah, leres niku gadhahan kulo, Mbah.... Kulo titen, Mbah. Pripun carane mendhet, Mbah? Kulo pendhetne ondo nggih, Mbah?"
(Ya, Mbah, betul itu kepunyaan saya, Mbah. . .. Saya hafal, Mbah. Bagaimana cara mengambilnya, Mbah? Saya ambilkan tangga ya, Mbah?).
"Sabar. . .., sabar. .. Tenang ae, lah." Kemudian, Mbah Matjan terdiam sejenak. Orang-orang yang hadir di situ pun ikut terdiam juga. Suasana pun menjadi hening. Yang terdengar hanya isakan 'si shohibul burung'. Lalu Mbah Marjan berkata, "Ngene, pak Kaji, kowe sak iki metuo nyang kutho. Tuku'o sate kambing sak akehe wong sing enek iki. Saben-saben wong siji sejinah, komplit sak segone karo gulene pisan. Lek wis, engko gek gowonen rene, dipangan bareng-bareng. " (Begini, pak Haji, kamu sekarang pergi ke kota (maksudnya kota Tulungagung yang berjarak kira-kira 12 kilo meter dari rumah Mbah Marjan). Belilah sate kambing sejumlah orang yang hadir ini. Setiap orang 10 tusuk, lengkap dengan nasi dan gulainya sekalian. Kalau sudah, nanti kamu bawa ke sini, kita makan bersama-sama.
Ringkas cerita, setelah semua yang dibeli H. Seling terhidang di hadapan Semua orang yang hadir, maka Mbah Marjan lalu mempersilakan untuk
memakannya, "Monggo...., monggo ..... , dipun dhahar... bismillaah...."
(silakan.., silakan..., dimakan, bismillaah. . ..). Pada saat semua mulai makan, tiba-tiba H. Seling berteriak sambil memegangi selangkangannya, ”Metu..., metu… "
(keluar. . ., keluar. . ..).
Ternyata, berbarengan dengan H. Seling menggigit sate dan menarik tusuk satenya, maka tiba-tiba secara sedikit demi sedikit 'burung' H. Seling pun juga mulai muncul di tempat biasanya berada. Dan, seiring dengan habisnya sate 10 tusuk itu, 'burung' H. Seling pun kembali dengan utuh, tidak kurang suatu apa pun, dan pulih
seperti sedia kala.
BERTARUH TENTANG SI MAYIT.
Pernah pada suatu ketika, Mbah Marjan diajak taruhan oleh seseorang tentang jatidiri dan keadaan orang yang sudah meninggal dunia di dalam kuburnya. Jadi, orang itu akan mengajak Mbah Marjan ke makam seseorang di suatu daerah yang sudah dipastikan Mbah Marjan tidak pemah ke daerah itu dan tidak mungkin mengenal si mayit itu.
Kemudian, setelah sampai di makam yang dimaksud, Mbah Marjan diminta untuk menebak siapa dan bagaimana keadaan si mayit saat itu. Karena itu sebuah taruhan, maka 'quiz' itu pun mengandung konsekwensi. Apabila tebakan Mbah Marjan itu nantinya salah, maka sebagai konsekwensinya Mbah Marjan harus membayar sejumlah uang yang sudah disepakati. Namun sebaliknya, apabila tebakan beliau temyata benar, maka 'lawan' beliau itulah yang harus membayarnya.
Akhirnya, kedua orang itu dengan masing-masing membawa saksi, pergi ke suatu pemakaman umum yang terletak cukup jauh dari rumah Mbah Marjan. Setelah sampai di makam yang dipilih oleh 'lawan' beliau, dan makam itu tanpa ada identitas nama si mayit, beliau pun lalu disuruh untuk menjelaskan segala sesuatunya tentang si mayit.
Dengan suara yang tegas dan lugas, beliau mengatakan begini, "Orang yang berada di makam ini (berjenis kelamin) laki-laki. Namanya pak Haji Fulan.
Dia meninggal dunia dalam usia (sekian) tahun. Meninggal pada hari dan tanggal bIa-bIa-bla. Postur tubuh dan ciri-ciri fisiknya bla-bla-bla. Dia meninggalkan keluarga yang namanya bla-bIa-bla. Sifatnya bla-bla-bla. Selama hidupnya dia suka mementingkan keluarga dan dirinya sendiri. Dia orangnya sangat pelit. Tidak peduli kepada orang lain. Ibaratnya, 'nggegem banyu ae ora ketes' (menggenggam air saja tidak sampai menetes). Dia saat ini sedang mengalami siksa kubur." Pendek kata, semua hal yang terkait dengan si H. Fulan, dari A sampai Z, 'dibaca' sampai tuntas-tas oleh beliau,
Mendengar penuturan Mbah Marjan, 'lawan' beliau itu pun terbengong. bengong. Kemudian, beliau bertanya, "Bagaimana? Benar apa salah?" 'Si lawan' pun membenarkan sambil mengangguk-angguk. Demikian pula saksi dari pihak 'lawan', mereka turut membenarkan. Masih dalam posisi berdiri di atas makam si Haji Fulan, beliau pun menimpali anggukan 'lawannya' itu seraya menjulurkan tangan beliau sambil berkata, "Sudah, sini...,mana uangnya?"
MBAH MARJAN NAIK HAJI.
A. MBAH MARJAN JADI BIDAN.
Pada waktu masih di tengah perjalanan menuju Arab Saudi dengan menaiki kapal laut tiba-tiba ada seorang perempuan anggota jamaah haji yang sedang kesakitan karena akan melahirkan. Seisi kapal pun menjadi heboh dan kebingungan lantaran di situ sama sekali tidak ada dokter, paramedis, maupun bidan. Maka, kemudian salah seorang di antaranya berinisiatif meminta bantuan Mbah Marjan untuk menolongnya.
Mbah Marjan pun kemudian diajak ke kamar perempuan itu. Setelah sampai di pintu kamar tersebut, Mbah Marjan lalu menggebrak daun pintu kamar” itu sambil berkata, “Lahir! !! ........ ". Bersamaan dengan 'bentakan' dan ‘gebrakan' Mbah Marjan itu serta-merta keluarlah si jabang bayi dengan selamat dari gua garba sang ibu, "Oooeeeekkk ....... "
B. LANCAR BERBAHASA ARAB.
Setelah kapal laut yang ditumpangi Mbah Marjan berlabuh di pelabuhan Jeddah. maka para jamaah haji pun lalu turun dari kapal. Begitu Mbah Marjan menginjakkan kaki di tanah Arab, aneh bin ajaib, beliau langsung bisa lancar berkomunikasi dengan bahasa Arab. Teman-teman seperjalanan beliau pun menjadi heran setengah mati. Bagaimana tidak, beliau tiba-tiba menjadi akrab, bergurau, dan berkelakar dengan para kuli angkut, penjual makanan, sopir, dan pegawai pelabuhan, tentu saja dengan menggunakan bahasa Arab.
Pada saat para jamaah haji sudah bermukim di kota Mekkah, maka dilakukanlah pembagian tugas sehari-hari di pemondokan. Mbah Marjan mendapat tugas sebagai tukang masak dan Mbah Kyai Asrori bertugas belanja ke pasar. Hal yang seperti demikian itu ternyata hanya bertahan 1-2 hari saja. Mbah Kyai Asrori merasa tidak sanggup menjalankan tugas dan minta agar segera dilakukan 'mutasi'. Beliau minta 'dimutasi' sebagai tukang masak saja. Alasannya, karena beliau merasa tidak lancar berbahasa Arab pasaran. Sedangkan, yang berbelanja ke pasar supaya diserahkan kepada Mbah Marjan saja.
Setelah tugas berbelanja kebutuhan dapur diambil alih Mbah Marjan, maka anggaran belanja untuk kebutuhan dapur pun menjadi menurun drastis. Bagaimana tidak, setiap berbelanja di pasar, Mbah Marjan selalu menawar sambil mengajak bergurau si tukang sayur yang semuanya orang Arab. Dengan gayanya yang kocak, beliau selalu 'membaca' dengan tepat berapa sebenarnya harga pembelian atau harga kulakan barang-barang yang mereka jual. Si pedagang pun tidak berkutik kena 'tembakan' si Mbah. Maka, harga pun menjadi sangat murah.
C. MANDI DAN MENCUCI PAKAIAN DI MASJID JIN.
Setelah beberapa hari berada di kota suci Mekah, rombongan jamaah haji itu melakukan kunjungan ke beberapa tempat bersejarah di kota Mekah.
Salah satu obyek kunjungannya adalah ke masjid jin. Masjid ini terletak tidak jauh dari Masjidil Haram. Masjid ini dinamakan Masjid jin karena pada zaman Rosululloh SAW di tempat itu ada serombongan Jin yang dalang menghadap Rosululloh SAW untuk minta di bai'at.
Pada waktu berada di masjid Jin itu, ketika semua orang berlaku hati-hati karena merasa takut atau khawatir kalau-kalau diganggu jin Mekah, Mbah Marjan justru dengan pede-nya mandi dan mencuci pakaian di kamar mandi masjid itu. Orang-orang yang menyaksikan hal itu pun menjadi was-was dan khawatir. Mereka mencoba untuk mencegah beliau. Beliau pun berkata, "Muride Mbah Takim kuwi ora oleh wedi karo jin. "
(Muridnya Syekh Mustaqim itu tidak boleh takut kepada jin). Dan, alhamdulillah, sampai sejauh itu ternyata tidak sampai terjadi apa - apa.
D. MENYEMBUHKAN PUTRI SEORANG SYEIKH.
Di kota Jeddah, kira-kira 70 kilometer dari kota suci Mekah, ada seorang Syeikh yang sedang dirundung duka. Syeikh di sini berarti bangsawan atau saudagar minyak yang kaya raya. Dia memiliki seorang anak perawan yang cantik jelita. Gadis itu, selama beberapa bulan belakangan, mengalami gangguan jiwa. Berbagai upaya penyembuhan telah dilakukan oleh sang ayah. Paranormal dari segala penjuru dunia pun sudah didatangkan. Namun, sejauh itu kenyataannya sama sekali tidak membuahkan hasil.
Ketika salah seorang mukimin (orang Indonesia yang sudah lama bermukim di negara Arab Saudi) mendengar kalau Mbah Marjan sedang berada di Mekah, maka dia berinisiatif untuk mengkomunikasikan sang Syeikh dengan Mbah Marjan. Syeikh itu pun menyambut baik tawaran si mukimin. Bahkan, sang Syeikh menjanjikan hadiah yang cukup besar bagi siapa pun yang berhasil menyembuhkan anak gadis kesayangannya itu. Lalu, si mukimin itu menghubungi Mbah Marjan yang sedang berada di Mekah. Mbah Marjan pun menyetujui tawaran itu.
Pada hari yang sudah direncanakan, berangkatlah mereka berdua dengan diiringi beberapa orang teman menuju ke kota Jeddah. Sebelum sampai di rumah sang Syeikh, beliau sempat bertemu dan berdialog dengan jin yang menyihir si gadis. Dalam dialog dengan jin penyihir itu beliau minta 'bocor-an', apa obat penangkal sihirnya itu. Oleh jin tersebut beliau diberitahu obat penangkal sihir yang dia 'tembakkan' kepada si gadis. Ternyata, menurut jin itu, penangkalnya adalah kotoran unta. Nah, ketika masih di jalan, Mbah Maijan mendapati ada kotoran unta yang masih segar yang teronggok di tepi jalan. Kotoran unta itu lalu didulit sedikit dengan jari tengah tangan kiri beliau. Setelah itu, tangan kiri beliau itu selalu disembunyikan di balik punggung beliau.
Setelah sampai di rumah sang Syeikh, selama beberapa saat, beliau kemudian berbincang-bincang dengan tuan rumah secara langsung. Setelah itu, Mbah Marjan lalu meminta agar dipertemukan dengan si gadis. Maka, kemudian diajak keluarlah si gadis dari kamarnya. Dasar orang yang sedang tidak waras, si gadis keluar tanpa malu-malu sambil tertawa-tawa dan ngomong nyerocos ngalor-ngidul. Bahkan, tidak sebagaimana umumnya gadis-gadis Arab yang tertutup hampir sekujur tubuh dan kepalanya, puteri sang Syeikh ini tanpa mengenakan tutup kepala sama sekali. Rambut panjangnya yang indah, bergelombang, dan berwarna hitam legam, tampak terurai melengkapi kecantikan wajah gadis itu.
Mbah Marjan lalu melambaikan tangan ke arah si gadis itu sebagai isyarat agar gadis itu mendekat kepada beliau. Gadis itu pun tanpa malu-malu dan dengan tetap tertawa-tawa lalu menghampiri Mbah Marjan. Setelah si gadis berada di dekat Mbah Marjan, tiba-tiba Mbah Marjan mengoleskan kotoran unta di jari tengah tangan kiri beliau itu ke kening si gadis.
Dan, seketika itu pula si gadis menjadi tersadar dari sakit yang dideritanya selama ini. Si gadis kemudian memandangi satu per satu semua orang yang hadir di ruangan itu. Dia terkejut dan merasa malu yang amat sangat karena tengah berada di hadapan beberapa lelaki asing yang bukan mahromnya. Apa lagi, saat itu dia merasa auratnya dalam keadaan terbuka. Seketika itu juga si gadis, sambil meraung-raung menangis, berlari menuju ke kamarnya.
E. BERJUMPA ROSULULLOH SAW.
Setelah selesai pengerjaan seluruh rangkaian manasik haji, maka perjalanan rombongan jamaah haji itu pun dilanjutkan ke kota suci Madinah. Kegiatan di kota ini, sebagaimana diketahui, yang terpenting adalah untuk berziarah ke makam sayyidina wa maulana Muhammad rosululloohi shollallohu 'alaihi wa aalihi wa sallam serta kedua sahabat beliau, sayyidina Abu Bakar ash Shidiq dan sayyidina Umar bin Khottob, rodliyallohu 'anhuma, yang terletak di dalam masjid Nabawi. Selain itu, juga untuk mengeljakan amalan sunnat berupa sholat wajib 5 waktu secara berjamaah di masjid Nabawi selama 40 waktu (arba 'in) berturut-turut.
Pada saat Mbah Marjan berziarah ke makam Rosululloh SAW, ketika berada di depan pintu makam, beliau lalu mengucapkan salam kepada Rosululloh SAW dan kedua sahabat beliau. Setelah selesai mengucapkan salam, aneh bin ajaib, tiba-tiba gembok pintu makam terbuka dengan sendirinya. Setelah itu, tiba-tiba pintu makam pun juga terbuka sendiri. Setelah pintu terbuka, maka Mbah Marjan pun lalu melangkahkan kaki ke arah pintu makam yang sudah terbuka itu.
Sementara itu, askar (tentara) yang saat itu bertugas menjaga makam, menyaksikan pemandangan aneh itu tentu saja menjadi terbengong-bengong. Melihat orang yang melongo itu, Mbah Marjan dengan gaya kocaknya beliau mencibirkan bibirnya sambil mengeluarkan suara, " Weee .......... " Si askar pun hanya berdiri terpaku dengan mulut ternganga, bengong, tanpa bisa berbuat apa-apa (Jawa, kami tenggengen). Setelah beliau berada di dalam areal makam, tiba-tiba pintu makam itu kembali tertutup dengan sendirinya. Dan, gembok pintu pun kemudian juga terkunci dengan sendirinya.
Setelah itu, kemudian beliau duduk bersila menghadap makam Rosululloh SAW dengan kepala yang tertunduk. Di gambarkan oleh Mbah Marjan, bahwa suasana di dalam ruangan makam Rosululloh SAW itu sangat sejuk dan berbau sangat harum. Tidak berapa lama kemudian, Rosululloh SAW pun hadir menemui beliau. Ketika itu Rosululloh SAW hanya berkata dalam bahasa lndonesia dengan intonasi yang tegas, "Sampaikan salam saya kepada gurumu. kyai Mustaqim, Kauman, Tulungagung, Indonesia. " Setelah itu, kemudian Rosululloh SAW pun hilang dari pandangan beliau.
Setelah perjumpaan beliau dengan Rosululloh SAW itu selesai, gembok pintu makam pun kembali terbuka dengan sendirinya, disusul terbukanya pintu makam dengan sendirinya. Beliau kemudian keluar dari dalam areal makam. Setelah berada di luar, pintu pun kembali tertutup, disusul dengan tertutupnya gembok dengan sendirinya.
Sejak saat itu, selama seminggu beliau berada di kota Madinah, tubuh beliau mengeluarkan bau sangat wangi. Dikatakan oleh Romo Kyai Abdul Djalil, "Selama satu minggu Mbah Marjan berada di Madinah, ke mana-mana Mbah Marjan pergi, tubuhnya berbau wangi. Bahkan, rambut Mbah Marjan apabila dicabut kemudian dicium atau dibawa kemana-mana, itu juga berbau wangi. Jadi, biasanya orang yang bermimpi bertemu Rosululloh SAW itu tubuhnya akan berbau wangi juga."
Terkait dengan terbukanya gembok dan pintu makam Rosululloh SAW, asy Syekh Abdul Djalil berkomentar, "Lha kalau cuma membuka gembok atau pintu saja, itu bagi Mbah Marjan suatu pekerjaan yang sangat sepele."
Setelah selesai seluruh rangkaian ibadah di Haromain asy Syarifain, yakni kota Mekah dan kota Madinah, seluruh jamaah haji pun, termasuk Mbah Marjan, pulang ke tanah air. Mendengar kedatangan Mbah Marjan dari tanah suci, Syekh Mustaqim pun kemudian berkunjung ke rumah Mbah Marjan atau istilah umumnya ziarah haji. Beliau datang berombongan dengan mengajak serta Mbah Nyai Sa'diyah, Romo Kyai Abdul Djalil, ibu Nyai Mahfiyah, dan Mbah Tajwid sekalian.
Kedatangan Syekh Mustaqim ke rumah Mbah Marjan itu, selain untuk berziarah haji, barangkali juga untuk 'menjemput' salam Rosululloh SAW
kepada beliau. Di hadapan Syekh Mustaqim, Mbah Marjan lalu menyampaikan salam Rosululloh SAW kepada guru beliau itu. Setelah menyampaikan salam itu. selama di hadapan Syekh Mustaqim, Mbah Marjan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Beliau hanya menangis saja dengan kepala yang tertunduk.
BOLOS KHUSUSIYAH.
Meskipun Mbah Marjan sedemikian hebatnya, namun beliau pernah kena batunya juga. Kejadian ini terjadi waktu khushusiyah malam Jumat di Pondok PETA. Entah mungkin karena sedang capai atau karena alasan lainnya, pada saat tengah dilaksanakan khushusiyah, sebelum khushusiyah itu usai, Mbah Marjan ternyata pulang terlebih dahulu.
Setelah selesai khushusiyah, kira-kira jam 10 malam, seperti biasanya, Syekh Mustaqim jagongan dengan para santri di serambi musholla. Karena pada waktu itu Mbah Marjan tidak tampak, sedangkan banyak santri yang tahu kalau pada waktu khushusiyah tadi Mbah Marjan hadir, maka salah seorang santri oleh Syekh Mustaqim disuruh menjemputnya dengan mengendarai sepeda motor di rumah beliau di desa Punjul, kecamatan Karangrejo yang berjarak sekitar 12 kilometer dari Pondok PETA. Setelah kira-kira 1 jam berlalu, si santri yang disuruh menjemput itu tiba kembali di pondok dengan tangan hampa alias tanpa Mbah Marjan. Si santri matur kalau Mbah Marjan belum sampai di rumahnya.
Akhirnya, jagongan itu pun tetap berjalan dengan asyik (Jawa, gayeng) seperti biasanya meskipun tanpa kehadiran Mbah Marjan. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul 1 dini hari, tiba-tiba Mbah Marjan muncul dengan wajah yang kuyu. Mbah Marjan langsung meminta maaf kepada Syekh Mustaqim dan mengatakan terus terang bahwa beliau tadi pulang sebelum khushusiyah selesai. Namun, ternyata dokar yang dinaiki Mbah Marjan itu tidak pernah bisa sampai ke rumah beliau. Kusir dokar dan Mbah Marjan sendiri menjadi tidak tahu arah. Mereka mulai sekitar pukul 20.00 sampai tengah malam itu hanya putar-putar tanpa tahu di mana mereka berada. Akhirnya, Mbah Marjan pun memutuskan untuk kembali ke pondok saja. Sejak saat itu Mbah Marjan tidak pernah berani lagi bolos khususiyah.
MENJELANG WAFATNYA MBAH MARJAN.
Pada suatu hari di awal tahun 1973 Mbah Marjan datang ke Pondok PETA. Beliau berkata kepada Syekh Abdul Djalil Mustaqim, "Gus, ini saya datang ke sini dengan mengajak serta murid-murid saya sebanyak 2 truk. Mereka saya tunjukkan pondok dan makam guru saya, Kyai Mustaqim. Karena Gus, 40 hari lagi saya akan mati." Pada waktu kedatangan Mbah Marjan itu kota Tulungagung sedang dilanda banjir.
Demikian pula, 'prediksi' saat meninggalnya beliau itu pernah pula disampaikan kepada keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Kira-kira 20 hari sebelum beliau wafat, beliau mengatakan kalau pada hari Jum'at Legi yang akan datang beliau akan meninggal dunia. Ketika ada yang bertanya, kenapa 'memilih' hari kematiannya sama persis dengan hari kelahiran beliau (hari Jum'at Legi), dijawab oleh beliau, "Lho, kan enak, to? 'Jalan' ketika 'datang' dan 'pulangnya' tetap sama."
Menanggapi kata-kata Mbah Marjan itu, di kemudian hari Romo K.H. Abdul Djalil berkata, "Memang ada orang yang bisa tahu kapan waktunya dia akan meninggal. Tapi, jarang sekali (di antara yang amat sangat jarang itu, pen.) orang yang berani dan tegas mengatakan kapan waktunya. Tapi, kalau Mbah Marjan berani."
Pada malam harinya, Mbah Marjan oleh Romo Kyai Abdul Djalil diajak tidur di kamar pribadi beliau. Ketika itu, beliau mempersilakan Mbah Marjan untuk tidur di tempat tidur (dipan) beliau. Sedangkan, beliau sendiri memilih untuk tidur di bawah atau di lantai saja. Namun, ternyata Mbah Marjan menolaknya, Beliau berkata, "Mboten, Gus.… panjenengan kemawon ingkang sare dateng nginggil. Kulo tak tilem dateng ngandap mawon. Derajat panjenengan Iebih Iangkung inggil tinimbang kulo. " (Tidak, Gus, panjenengan saja yang tidur di atas. Saya tidur di bawah saja. Derajat panjenengan jauh lebih tinggi dari pada saya).
Dan, kata-kata Mbah Marjan itu akhirnya terbukti kebenarannya. Selang 40 hari kemudian atau tepatnya pada hari Jumat Legi, tanggal 1 6 Februari 1973 atau tanggal 14 Muharam 1393 H, Mbah Marjan benar-benar meninggal dunia. Alkisah, bertepatan pada saat wafatnya Mbah Marjan itu pula, salah seorang murid Syekh Mustaqim yang bernama Mbah Umar yang rumahnya di desa Kedungsoko, kecamatan Tulungagung, kabupaten Tulungagung, didatangi ruhnya Mbah Marjan.
Ketika itu, ruh sahabat karibnya itu datang dengan tujuan untuk minta tolong Mbah Umar agar diantarkan untuk sowan kepada Syekh Mustaqim. Padahal, pada saat itu Syekh Mustaqim sendiri sudah terlebih dahulu meninggal dunia 3 tahun berlalu (1970). Maka, atas izin Alloh SWT, ruh Mbah Marjan pun diantarkan Mbah Umar sowan kepada Syekh Mustaqim, rokhimahulloh.
H. Dullah adalah salah seorang teman Mbah Marjan. Dia memiliki pekerjaan sebagai seorang mlijo alias makelar barang-barang antik, perhiasan batu mulia, dan berlian. Setiap H. Dullah akan menawarkan barang dagangannya, yang rata-rata berharga mahal itu, dia selalu terlebih dahulu minta petunjuk kepada Mbah Marjan. H.Dullah sering menanyakan kepada Mbah Marjan, sebaiknya kepada siapa barang itu harus ditawarkan supaya si pembelinya bisa langsung mau dan laku dengan harga yang tinggi sehingga si makelar memperoleh keuntungan yang banyak dengan cara yang mudah. Sudah berkali kali petunjuk dari Mbah Marjan itu dijalankan H. Dullah. Dan, kenyataannya petunjuk Mbah Marjan itu memang terbukti cespleng.
Mengetahui hal tersebut, Mbah Mubin pun menegur Mbah Marjan dengan mengatakan, "Oalah Jan.. ,.Jan. ,kamu itu bagaimana? Lha wong
ilmunya Mbah Kyai Mustaqim kok cuma kamu 'jual' murah, gitu. Hanya kamu buat mainan seperti itu. Cuma kamu 'tukar' dengan 1-2 bungkus rokok Eman-eman banget (sayang sekali), Jan." Mendengar kritikan pedas sahabat karibnya itu, Mbah Marjan pun hanya terdiam seribu bahasa. Sejak saat itu beliau tidak pemah mau lagi menjawab pertanyaan H. Dullah yang terkait dengan hal tersebut.