Mbah Tajid, Kandenan.
Mbah Tajid adalah santri Syekh Mustaqim dari angkatan zaman penjajahan Jepang. Beliau termasuk murid Mbah Mustaqim yang banyak dikaruniai hal-hal yang bersifat khowariqul 'aa’ah. Mbah Tajid juga sering mendapat 'tugas' yang berat dari guru beliau, Syekh Mustaqim. Di antara karomah beliau, ialah:
BOLA VOLI MADE IN KANDENAN.
Kejadian aneh bin ajaib ini terjadi pasca peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Pada suatu sore, seperti biasanya, para pemuda dusun Kandenan, kecamatan Boyolangu, bermain bola voli di lapangan voli yang terletak tidak jauh dari rumah seorang oknum aparat keamanan. Namun, sore itu ada kejadian yang di luar kebiasaan.
Ketika hari masih terang, para pemuda itu sudah bubar dan akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Pada saat mereka melintas di depan rumah Mbah Tajid, mereka pun ditanyai beliau, "Loh, kenapa masih jam segini (maksudnya matahari masih bersinar terang benderang) kok sudah pulang?"
Mereka menjawab, "Ya, Mbah, lha wong bolanya disita pak Fulan (seorang oknum aparat keamanan). Katanya, suara kami mengganggu (Jawa, mbrebegi) orang tidur. "
Mendengar penuturan mereka, Mbah Tajid langsung memanggil mereka, "Hey.... ke sini kalian. Kalian itu pemuda macam apa? Masak mau voli tidak ada bola saja sudah putus asa? Ayo, sini...., main voli sama aku." Mbah Tajid lalu menghampiri bonggol pohon kelapa (Jawa, dongklak) yang teronggok di halaman rumah beliau. Bonggol itu lalu diambil dan diangkat ke atas kepala beliau. Melihat kejadian itu, anak-anak muda itu semuanya terbengong-bengong. Bagaimana tidak, bonggol pohon kelapa yang merupakan bagian paling bawah dari batang pohon yang beratnya bisa mencapai 2 kwintal itu bisa diangkat dengan mudah oleh beliau.
Beliau lalu mengajak mereka menuju ke lapangan voli yang tidak seberapa jauh dari rumah beliau. Sesampainya di lapangan voli, beliau lalu mengaj ak para pemuda itu bermain voli dengan menggunakan bonggol pohon kelapa itu. Anehnya, mereka pun juga merasakan bonggol itu menjadi sangat ringan. Tak pelak, suasana pun menjadi hingar bingar. Para pemuda itu berteriak-teriak kegirangan sambil menserve, mengoper, mensmash, memblock,bahkan mengheading 'bola' itu.
Selain itu, orang yang menonton pun menjadi semakin banyak. Di samping mereka ingin menyaksikan peristiwa langka itu, mereka juga ikut berteriak teriak memberikan support. Yang kacau, akhimya, orang yang bermain voli itu menjadi semakin banyak, sudah tidak 6 lawan 6 lagi. Mereka semua ingin mencoba 'bola' antik 'made in' Mbah Tajid itu. Si oknum pun ikut menyaksikan peristiwa Aneh Tapi Nyata itu dari kejauhan dengan hati yang ciut.
NAIK KUDA PUTIH KE DEMAK.
Pada suatu malam, Mbah Tajid sedang menghadap Syekh Mustaqim. Setelah cukup lama beliau berdua berbincang-bincang, di penghujung pembicaraan, Syekh Mustaqim berkata kepada Mbah Tajid, "Jid, kamu sekarang berziarahlah ke makam Sunan Ampel. Serahkan semua uangmu kepadaku." Dijawab oleh Mbah Tajid, "Inggih, Yai." Setelah itu, Mbah Tajid menyerahkan semua uang yang ada di saku beliau kepada Syekh Mustaqim. Kemudian, Syekh Mustaqim melanjutkan, "Perjalanan ke Surabaya, bagaimana caranya, terserah kamu. Sudah, sekarang kamu berangkat.”
Ketika Mbah Tajid keluar dari Pondok PETA, waktu sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Pada waktu itu, kalau sudah jam segitu, keadaan kota Tulungagung sudah sangat sepi. Lampu jalan pun tidak seterang sekarang. Mbah Tajid lalu berjalan menyusuri jalan di kota Tulungagung menuju ke arah kota Surabaya. Ketika perjalanan beliau sampai di Utara stadion Rejo Agung sekitar 3 kilometer dari pondok PETA, ada sebuah truk pengangkut barang yang berjalan dari Selatan menuju ke arah Utara. Dali kejauhan, iseng-iseng beliau melambaikan tangan sebagai isyarat untuk menghentikan truk itu. Setelah truk itu berhenti, maka beliau pun menyampaikan keinginannya kepada sopir truk itu untuk ikut menumpang ke Surabaya. Sopir dan kenek truk itu menyambut dengan senang hati keinginan beliau itu. Batin mereka, itung-itung bisa jadi teman ngobrol sebagai pengusir rasa kantuk.
Ketika perjalanan sampai di kota Mojokerto, sopir truk itu mengajak beliau untuk singgah di rumah saudaranya. Di rumah saudara si sopir, mereka dijamu oleh si tuan rumah. Mereka disuruh makan, dibuatkan minuman kopi, dan diberi rokok. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan. Ketika waktu menjelang subuh, sampailah truk itu di daerah Jembatan Merah sebagai tujuan akhir untuk menurunkan barang. Mbah Tajid pun lalu mengucapkan terima kasih kepada sopir dan kenek truk itu.
Selanjutnya, beliau kemudian berjalan kaki menuju ke masjid Agung Sunan Ampel yang jaraknya tinggal beberapa ratus meter saja. Singkat cerita setelah sholat subuh beliau lalu berziarah ke makam Sunan Ampel. Dalam ziarahnya itu, beliau 'bertemu' dengan Sunan Ampel. Ketika itu, beliau disuruh Sunan Ampel untuk selanj utnya beiziarah ke makam Raden Patah di Demak. Setelah itu, beliau lalu beranjak undur diri dari makam Sunan Ampel untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Demak sebagaimana penntah Sunan Ampel.
Setelah beliau meninggalkan komplek makam Sunan Ampel, tidak berapa ia kemudian sampailah langkah beliau di pintu gerbang masjid Ampel yang terletak tepat di sebelah Selatan masjid. Pintu gerbang itu berbentuk gapura yang memiliki 2 lubang pintu yang berdampingan (mirip huruf'm'). ketika beliau akan melewati pintu sebelah Timur (kiri) tiba-tiba tepat di tengah pintu tersebut berdiri seekor kuda putih menghadap ke Barat. Karena merasa terhalangi, maka beliau pun mengalihkan arah kakinya ke pintu sebelah Barat (kanan). Anehnya, kuda itu kemudian maju sehingga menutupi pintu sebelah kanan yang akan beliau lewati.
Merasa terhalangi lagi, beliau pun kembali menuju pintu yang sebelah kiri (pintu Timur). Kali ini si kuda mundur dan menutupi pintu sebelah Timur yang akan beliau lewati. Beliau pun kembali ke arah pintu sebelah kanan (pintu Barat). Namun, kembali si kuda maju menutupi pintu sebelah Barat. Karena kembali beliau merasa dihalangi si kuda, maka kali ini beliau pun lalu menaiki (Jawa, nyengklak) kuda putih itu seraya berkata "Masjid Demak ..... " Dan, atas kekuasaan Alloh Yang Maha Agung, dalam waktu sekejap beliau sudah sampai di halaman Masjid Agung Demak.
Ketika beliau 'landing' di halaman masjid Demak, saat itu matahari masih belum menampakkan diri. Tanpa membuang waktu, beliau lalu berziarah ke makam Raden Patah yang terletak di belakang masjid. Setelah selesai berziarah, beliau lalu kembali ke halaman masjid untuk mencari si kuda putih yang selanjutnya akan beliau minta untuk mengantarkan pulang ke Tulungagung. Namun, ternyata kuda itu sudah tidak ada di tempat di mana tadi beliau tinggalkan. Beliau pun lalu berusaha mencari di seputar halaman masjid. Tetapi, pencarian itu tidak membuahkan hasil. Karena merasa kecapaian, beliau lalu beristirahat di serambi masjid. Sementara itu, matahari pagi pun semakin merangkak naik.
Dalam perenungan di serambi masjid itu, beliau berpikir bagaimana caranya beliau pulang. Si kuda sudah tidak ada lagi, sedangkan uang satu sen
pun tiada pula di saku. Perut beliau pun sudah mulai keroncongan. Sementara itu, mulut beliau sudah waktunya dilalui kopi panas dan asap rokok seperti hari-hari biasanya.
Ketika beliau tengah asyik melamun, tiba-tiba beliau dikejutkan suara orang-orang berteriak yang berasal dari alun-alun yang terletak tepat di depan Masjid Agung Demak. Setelah beliau melongok ke sumber suara, beliau menyaksikan ada seorang laki-laki yang berprilaku seperti orang gila yang diikuti oleh sekitar 10 orang laki-laki dan perempuan.
Tiba-tiba orang itu masuk ke halaman masjid dan menuju ke arah beliau berdiri. Setelah orang itu mendekat, beliau lalu mengusapkan tangan beliau ke kepala orang itu. Setelah terkena usapan tangan beliau, orang itu spontan tubuhnya lemas dan roboh tak berdaya. Demi melihat si laki-laki itu roboh, maka orang-orang yang mengikutinya itu cepat-cepat menghampirinya. Mereka khawatir kalau terjadi sesuatu terhadap laki-laki itu. Mereka ternyata adalah satu keluarga yang sedang mengikuti saudara mereka yang sedang terkena gangguan j iwa.
Tidak lama berselang, laki-laki itu ternyata bangun dengan wajah yang kebingungan. Dia saat itu merasa tersadar dan bertanya-tanya kenapa dia berada di situ dan diikuti saudara-saudaranya. Melihat saudara mereka telah 'siuman', maka rasa gembira pun menyelimuti hati mereka. Belakangan diketahui, ternyata mereka adalah berasal dari keluarga berada.
Setelah itu mereka pun lalu bersalaman dengan beliau seraya mengucapkan terima kasih. Sejenak kemudian mereka berbincang-bincang dan saling berkenalan dengan beliau. Beliau pun ditawari untuk singgah ke rumah mereka. Namun, dengan halus beliau menolaknya. Ketika mereka akan ber' pisah, maka sebungkus uang pun dihaturkan kepada beliau sebagai wujud rasa terima kasih mereka.
Setelah mereka berlalu, beliau kemudian berjalan menuju ke pasar kota Demak. Hal pertama yang beliau lakukan adalah 'menghentikan' acara keroncongan di perut beliau. Kemudian, segelas kopi panas dan rokok kesukaan beliau pun segera beliau nikmati. Setelah itu, beliau lalu membeli selembar uang di sebuah toko yang terletak di dekat pasar Demak. Dikisahkan, bahwa si penjual sarung itu sambil berjualan beliau memutar tasbihnya dengan putaran yang cepat. Menurut Syekh Abdul Djalil Mustaqim, orang tersebut diperkirakan sedang mengamalkan thoriqot Naqsyabandiyah.
Setelah itu, beliau lalu mencari kendaraan umum menuju ke arah Tulungagung. Beliau sampai di Pondok PETA pada keesokan harinya. Ketika sudah berada di hadapan Syekh Mustaqim, sebelum beliau mengatakan apa-apa pada guru beliau itu sudah terlebih dahulu mengatakan, "Jid, sini, berikan kepada aku, sisa uang (sekian rupiah) dan selembar sarung warna merah."
Guru beliau itu menyebutkan jumlah uang yang persis sama dengan jumlah sisa uang yang beliau bawa dari Demak. Setelah apa yang diminta Syekh Mustaqim beliau serahkan, maka kemudian Syekh Mustaqim pun mengembalikan uang yang kemarin lusa beliau 'sita' dari Mbah Tajid plus sarung merah yang baru saja beliau serahkan kepada Syekh Mustaqim..
HANDPHONE ALA SYEKH MUSTAQIM MBAH TAJID.
Pernah, pada suatu ketika, Mbah Tajid mengatakan bahwa Syekh Mustaqim seringkali berkomunikasi dengan beliau melalui percakapan batin 'dari hati ke hati'. 'Klaim' itu diceritakan Mbah Tajid kepada Mbah Yaji, salah seorang anggota jamaah Kandenan. Mendengar 'pengakuan' Mbah Tajid itu, Mbah Yaji mengatakan bahwa beliau tidak percaya.
Ndilalah, tidak berapa lama kemudian, ternyata 'telephone' dari Syekh Mustaqim kepada Mbah Tajid benar-benar 'berdering'. Segera saja Mbah Tajid menempelkan lengan tangan kanan beliau ke telinga Mbah Yaji yang Saat itu masih berada di dekat beliau. Seketika itu pula, Mbah Yaji mendengar dengan jelas dialog antara Syekh Mustaqim dan Mbah Tajid. Dalam dialog itu, Mbah Tajid tidak kedengaran mengucapkan sepatah kata pun. Beliau hanya berkata-kata di dalam hati. Dialog yang kadang-kadang diselingi saling tertawa itu berlangsung cukup lama. Dan, Mbah Yaji meyakini
bahwa suara lawan bicara Mbah Tajid di 'seberang sana' itu memang benar-benar suara Syekh Mustaqim. Barangkali, inilah yang benar-benar bisa di. katakan 'handphone' yang asli. Karena, Mbah Yaji mendengar 'phone' itu dari 'hand'-nya Mbah Tajid.