26.11.22

Membangun Mushola

Pada perkembangan berikutnya, sampai pada masa penjajahan Jepang, murid-murid Mbah Kyai Mustaqim yang juga aktif mengikuti wirid berjamaah di 'amben' besar itu, antara lain:
  1. Mbah H. Abdul Qodir (Kediri), 
  2. Mbah Ilyas (Kediri), 
  3. Mbah Umar (Kedungsoko), 
  4. Mbah Mubin (Sobontoro), 
  5. Mbah H. Hilal (Tunjung, Udanawu, Blitar), 
  6. Mbah Abdus Syukur (Karangwaru), 
  7. Mbah Abdur Rosyid (Sobontoro), 
  8. Mbah Kasbun (Kandenan), 
  9. Mbah Tajid (Kandenan), 
  10. Mbah Deri (Jeli, Karang rejo), 
  11. Mbah Sujak (Tamanan, Kras), 
  12. Mbah H. Usup (Ngadiluwih), 
  13. Mbah Kemi (Ngadiluwih), 
  14. Mbah Juremi (Ngadiluwih), 
  15. Mbah Ilham (Ngadiluwih), 
  16. Mbah Syamsudin (Kandat) dan lain-lain. 
Karena 'amben besar' itu semakin lama tidak lagi mampu menampung jumlah jamaah yang semakin bertambah, maka pada tahun 1952 Syekh Mustaqim memprakarsai pembangunan sebuah musholla berlantai dua dengan ukuran 7 X 7 meter. Pembangunan musholla ini disertai dengan riyadloh dan tirakat yang 'super ketat'.

Pengerjaan pembangunan musholla itu dari A sampai Z dilaksanakan oleh murid-murid beliau sendiri. Yang bertindak sebagai arsiteknya adalah Mbah Slamet. Kepada para pekerja, Syekh Mustaqim menginstruksikan agar selama mereka membantu pengerjaan musholla itu supaya selalu dalam keadaan memiliki wudlu dan tidak boleh lepas dari membaca secara sirri kalimah thoyyibah seperti istighfar, sholawat, dzikir, atau ayat Kursi.

Bahkan dalam proses pembuatan batu batanya pun Mbah Kyai Mustaqim memerintahkan agar selalu dalam keadaan seperti itu pula. Pernah, pada suatu ketika. orang-orang yang membuat batu bata, yang semuanya adalah jamaah dukuh Kandenan, desa Karangrejo, kecamatan Boyolangu, dengan sengaja mencoba tidak menuruti instruksi Syekh Mustaqim. Dan, ternyata pada akhirnya batu bata yang tanpa wudlu dan dzikir itu tidak bisa matang sama sekali meskipun sudah dibakar dalam waktu yang cukup lama.

Musholla itu selain digunakan untuk sholat berjamaah 5 waktu, juga pada lantai atasnya digunakan sebagai zawiyah atau tempat pesulukan bagi murid-murid beliau. Pada lantai atas itu pula ada sebuah ruangan kecil di sisi sebelah Selatan berukuran kira-kira
1,5 X 4 meter. Ruangan kecil
(Jawa, gothakan) itu digunakan oleh Syekh Mustaqim untuk kegiatan bai'atan. Pada saat tidak digunakan, ruangan ini selalu dalam keadaan tergembok.

Pada masa Romo Kyai Abdul Djalil, sampai kira-kira tahun 1975, gothakan tersebut sudah jarang dipakai sebagai ruang bai'atan. Pembai'atan sering beliau laksanakan di dalam musholla (lantai bawah). Setelah tidak lagi di gunakan sebagai ruang bai'atan, gothakan tersebut pada akhirnya sering di gunakan sebagai kamar bagi murid-murid tertentu yang sedang menjalankan suluk. Sedangkan, di lantai bawah, ada pula gothakan dengan ukuran dan letak yang sama (di sisi sebelah Selatan) yang berfungsi sebagai ruang makan ( berbuka dan sahur) bagi para santri yang menjalani suluk. Dan, akhirnya musholla itu pada tahun 1984 dibongkar total dan direhab menjadi seperti sekarang ini.

Pada masa itu, kegiatan khushusiyah thoriqot Syadziliyah di masing-masing kelompok hanya dilaksanakan setiap malam Jumat saja. Sedangkan, khuzushus'iyah di pondok PETA dilaksanakan setiap malam Selasa dan malam Jumat.
Sementara di sisi yang lain, keadaan perekonomian rumah tangga Syekh Mustaqim masih tetap dalam keadaan 'pas-pasan'. Sehingga sering terjadi, manakala tiba waktunya malam khushusiyah, sedangkan pada sore harinya tidak ada beras sama sekali untuk dimasak, maka oleh Mbah Nyai Sa'diyah hanya dibelikan beberapa sisir pisang dan minuman berupa air putih saja. Tidak jarang pula, untuk mencukup-cukupkannya, satu sisir pisang itu dibagi untuk beberapa orang. Kondisi yang seperti itu beliau berdua jalani dengan ikhlas, sabar, dan tawakal. Tidak pernah sekalipun beliau berdua mengeluh, apalagi sampai meminta-minta bantuan atau sumbangan kepada orang lain.