26.11.22

Mengalami Kekejaman Penjajah Jepang

  Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, tahun 1942-1945, pemerintah pendudukan Dai Nippon pernah melakukan pemaksaan kepada rakyat Indonesia agar menjalankan suatu ritual yang bertujuan untuk membelikan penghormatan kepada Kaisar Jepang Tenno Heika yang mereka yakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Ritual atau upacara itu disebut Sekerei.

Ritual ini dilakukan dengan cara membungkukkan badan (seperti orang yang sedang rukuk) ke arah matahari terbit pada saat matahari sudah terbit sempurnasekitar pukul 7 pagi, selama kurang lebih 15 menit. Dan, apabila upacara Sekerei itu dilakukan secara 'berjamaah' di lapangan, maka harus ada yang bertugas sebagai 'imam' alias pemberi aba-aba.

Ritual Sekerei ini tentu saja mendapat perlawanan dari para ulama, habaib, dan kyai di seluruh bumi Nusantara karena hal ini jelas-jelas merupakan tindakan yang diharamkan Alloh SWT. Di samping itu, hal tersebut juga dinilai sesuatu yang melecehkan kaum muslimin. Para kyai merasa bahwa hal itu merupakan tanggung jawab mereka terhadap keselamatan aqidah umat Islam.

Mendapat tentangan keras dari para kyai, pemerintah penjajahan Jepang, melalui salah satu lembaga keamanannya yang bernama Kempetai (polisi militer Jepang) lalu melakukan penangkapan terhadap para kyai itu. Mereka dianggap melakukan pembangkangan dan dituduh akan mengadakan pemberontakan. Kempetai adalah polisi militer atau polisi rahasia bentukan pemerintah Jepang yang terkenal akan kedisiplinan dan kekejamannya. Pada masa penjajahan Jepang, Kempetai ini sangat ditakuti orang. Setiap orang yang 'diciduk' Kempetai kebanyakan pulang tinggal nama saja. Kyai-kyai yang ditangkap dan kemudian disiksa itu di antaranya adalah Hadlrotusy Syekh Mbah Kyai Muhammad Hasyim Asy'ary (1875-1947), pendiri sekaligus Rois . Akbar jam'iyyah Nahdlatul Ulama'.

Pada tahun 1942, para kyai dari daerah Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, dan Blitar yang berjumlah sekitar 30 orang ditangkap dan dibawa ke markas Kempetai di Malang. Kyai-kyai yang berasal dari Tulungagung yang ditangkap selain Syekh Mustaqim juga di antaranya Mbah Kyai Raden Abdul Fattah (Mangunsari), Mbah Kyai Syarif (Majan), dan Mbah Kyai Abdullah (Gembong, Kras, Kediri). Para kyai itu ditahan di markas Kempetai di Malang selama hampir 9 bulan. Di sana, selain beliau-beliau itu dimasukkan ke dalam sel, juga disiksa tanpa mengenal waktu.

Siksaan yang cukup berat yang dialami Syekh Mustaqim, di antaranya mulut beliau dimasuki selang sampai ke tenggorokan, lalu dipompakan air sehingga lambung beliau penuh dengan air. Setelah itu, beliau dengan tubuh yang terlentang, di atas perut beliau dipasangkan selembar papan kayu, lalu diinjak oleh tentara Jepang, la'natulloh, di sisi kanan dan kiri. Tentu saja seluruh isi lambung beliau keluar. Pernah pula beliau disakiti dengan cara tubuh beliau dijatuhkan dari ketinggian sekitar 10 meter.
Semua siksaan itu ada kalanya
beliau terima apa adanya. Artinnya, beliau memang merasakan  kesakitan beneran. Namun tidak jarang pula beliau mengerjai tentara-tentara kerajaan Dai Nippon itu untuk sekedar sebagai 'hiburan' saja. Pernah, ketika tenggorokan beliau dimasuki selang yang kemudian dialiri air, ternyata sampai habis air berdrum-drum, lambung beliau tetap 'aman-aman' saja. Bagaimana tidak, lha ternyata air itu keluar dari ujung sabuk yang dipakai beliau.

Pernah pula, ketika beliau dijatuhkan dari ketinggian 10 meter, beliau tidak mengalami cedera atau rasa sakit sedikit pun. Tentara-tentara Jepang itu tidak menyadari kalau sebenarnya yang mereka jatuhkan dari ketinggian itu hanyalah kaos singlet beliau saja. Sementara itu, dari kejauhan, Syekh Mustaqim yang 'asli' menyaksikan kejadian itu bersama teman-teman senasib-sependeritaan beliau.

Ada pula, beberapa orang kyai yang disiksa dengan cara masing-masing dimasukkan ke dalam sebuah drum lalu dijemur di tengah lapangan mulai pagi sampai sore hari tanpa makan dan minum. Berbagai cara tentara Jepang menyakiti para kyai seperti distroom, dipukuli, diinjak-injak, tidak diberi makan dan minum, direndam di dalam air, disulut api rokok, dan masih banyak lagi cara-cara yang sangat sadis dan tidak manusiawi mereka lakukan.

Pernah, pada suatu hari, para kyai itu disuruh menyaksikan seorang kyai dari Nganjuk yang tangannya diikat lalu diseret dengan sepeda motor mengelilingi lapangan. Menyaksikan pemandangan yang biadab dan tidak manusiawi itu, Syekh Mustaqim merasa sangat geram. Pada saat itu, dalam hati beliau terlintas niat akan mengeluarkan llmu Hikmah beliau. Namun, 'mendengar' suara hati beliau itu, Mbah Raden, panggilan akrab K.H. Raden Abdul Fattah (1872-1954), Mangunsari, Tulungagung, melarangnya. Mbah Raden mengatakan, "Qim…. ora usah Qim. Wis to ben, awake dewe sing sabar ae ..... " (Qim, tidak usah Qim. Sudahlah biarkan saja, kita bersabar saja). Mendengar nasehat Mbah Raden, yang berusia jauh lebih sepuh dari beliau, beliau pun kemudian mengurungkan niat beliau itu.

Berkenaan dengan masa penjajahan Jepang ini, pada bulan Rabiul Awal 1364 H., beliau pernah bertanya kepada murid beliau yang bernama Mbah Slamet Muhammad Nur, "Met, bulan Ramadhan itu apa masih kurang lama? Kurang berapa bulan lagi?" Setelah dihitung, kemudian Mbah Slamet menjawab, "Kurang 6 bulan lagi, Yai. Ada apa, Yai?” Beliau menjawab, “Ah, tidak ada apa-apa." Namun, di lain hari, ada santri lain yang secara terang-terangan beliau beritahu bahwa penjajah Jepang akan hengkang dari bumi pertiwi ini dalam waktu enam bulan lagi.

Dan, kenyataan itu benar adanya. Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 tentara Amerika Serikat menjatuhkan bom atom dan meluluh lantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki yang kemudian disusul dengan menyerahnya tentara Jepang tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Lalu, pada hari Jumat Legi tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1364 H., Bung Kamo dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta.

Pada pertengahan bulan Oktober 1945, yaitu setelah 2 bulan Indonesia merdeka, tentara Inggris secara bergelombang mulai mendaratkan pasukannya di beberapa pelabuhan di Indonesia. Tujuan kedatangan pasukan Inggris ini sebenarnya adalah untuk melucuti tentara Jepang yang masih berada di Indonesia. Namun, di balik itu ada satu agenda tersembunyi yaitu "membukakan jalan' bagi Belanda untuk bisa menguasai lndonesia kembali. Hal ini tentu mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia.

Maka, pada tanggal 10 Nopember 1945 meletuslah pertempuran di Surabaya antara pihak Indonesia yang terdiri dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru dibentuk, arek-arek Surabaya, dan para santri yang datang  dari berbagai daerah melawan tentara Inggris. Peristiwa itu, pada akhirnya , memakan korban jiwa bagi pihak Indonesia sampai belasan ribu orang gugur sebagai kusuma bangsa.

Dalam peristiwa itu Syekh Mustaqim juga mengirimkan santri-santri beliau dan pemuda-pemuda Tulungagung dan sekitarnya ke Surabaya. Mereka menaiki kereta api yang berangkat dari stasiun Tulungagung dengan dibekali rotan (Jawa, menjalin) sepanjang kira-kira 1 meter yang sudah diasma'i (diberi doa) oleh Syekh Mustaqim.

Menjelang meletusnya peristiwa G-30 S/PKI tahun 1965, Syekh Mustaqim kembali 'mengeluarkan' atau membagi-bagikan rotan atau menjalin asma'an kepada para santri Pondok PETA untuk menghadapi para anggota PKI yang digdaya karena memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir. Tidak sedikit pada waktu itu, anggota PKI yang semula tidak mempan dibacok tiba-tiba menjadi 'lumpuh' ilmunya setelah dipukul, bahkan hanya tersenggol kulitnya saja dengan menjalin asma'an Syekh Mustaqim itu. Bahkan, ketika menjalin asma'an itu bersentuhan dengan kulit orang yang memiliki ilmu hitam, maka akan menimbulkan suara ledakan yang amat keras.