29.11.22

Membangun Pondok PETA

  Pada bulan Juni tahun 1976 asy Syekh mulai mencanangkan pembangunan pondok PETA. Saat itu bersamaan dengan kelahiran putera ke dua beliau, yaitu Ning Khusna. Asy Syekh pernah mengatakan bahwa pada awal beliau menggantikan ayahanda beliau, asy Syekh pernah bermimpi melihat sebuah perahu ( bahtera) yang Sangat besar dan sangat indah di alam akhirat.
Bentuk perahu itulah yang kemudian beliau jadikan design dan arsitektur bangunan pondok PETA yang seperti kita lihat sekarang ini.

Terkait dengan pembiayaan pembangunan pondok PETA, asy Syekh hanya mengandalkan dari hasil usaha beliau sendiri serta infaq para murid pondok PETA. Pengalaman berbisnis beliau sewaktu masih muda, beliau teruskan ketika sejak tahun 1976 itu beliau butuh dana yang sangat besar untuk pembangunan pondok.

Bisnis yang beliau tekuni sejak muda antara lain: jual-beli kendaraan bennotor di Jakarta dan Surabaya serta menjadi leveransir barang-barang berskala besar seperti besi tua, barangbarang pertambangan seperti tembaga, nikel, dan timah. Kawan-kawan lama dan para relasi beliau di Jakarta dan Surabaya beliau hubungi lagi.

Selain itu, partisipasi dan kontribusi murid-murid asy Syekhjuga cukup besar. Mereka, selain memberikan bantuan berupa tenaga, juga ikut menyumbangkan dana. Sistem yang asy Syekh pakai untuk menghimpun dana dari para santri pondok PETA saat itu, yaitu dengan cara yang amat sederhana. Asy Syekh meminta murid-murid beliau untuk memelihara (Jawa, ngingu) ayam kampung di mana anak ayam (Jawa, kuthuk)-nya beliau bagikan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Hal ini diutamakan bagi para murid yang bertempat tinggal di pedesaan. Alasannya, dari pagi sampai sore, ayam-ayam itu cukup dilepas bebas (Jawa, diumbar) di pekarangan untuk mencari makan sendiri. Maka, dengan begitu si murid tidak perlu mengeluarkan biaya. Mereka hanya bertugas mengeluarkan dan memasukkan ayam-ayam itu dari kandangnya setiap pagi dan sore.

Setelah ayam-ayam itu besar, maka oleh para koordinator, ayam-ayam itu diambil untuk kemudian dijual ke pasar.

 “Pada saat itu, ” kata pak Puh, “Nilai seekor ayam setara dengan harga 1 lonjor besi cor ukuran l6 yang harganya pada saat itu
Rp. 2. 500, -. ” Selain itu, ada pula murid murid yang menyumbangkan buah kelapa. Setelah terkumpul, kelapa-kelapa itu dibawa ke pasar untuk diuangkan. Ada pula yang menyumbanhkan beras atau hasil kebunnya untuk konsumsi orang-orang yang hanya mampu menyumbangkan tenaganya (Jawa, ro ’an),

Para tukang dan orang-orang yang hanya mampu menyumbangkan tenaganya, mereka pun bekerja dengan tulus ikhlas. Mereka tidak mau dibayar seperti tukang atau kuli pada umumnya namun, dengan penuh pengertian, asy Syekh pun setiap bulan mengirimkan beras dan beberapa kebutuhan pokok lainnya ke keluarga mereka di rumah.

Dalam hal konstruksi bangunan, asy Syekh selalu berdiskusi dengan bpk. Mukri yang biasa dipanggil pak Puh. Beliau adalah kakak kandung ibu Nyai Umi Zahro'. Pada tahun 1977, untuk urusan teknis dan konstruksi, selain pak Puh, asy Syekh juga dibantu mas Toni. Kata pak Puh, “Yai-ne selalu meminta agar Ukuran besi maupun saduran comya supaya dilebihkan dari yang seharusnya. Jadi, secara konstruksi, kwalitas bangunan pondok PETA itu sangat istimewa.”

Sekitar tahun 1980-an, presiden Suharto pemah mengutus  seorang pejabat mengantarkan sekoper uang untuk diberikan kepada asy Syekh. Namun, sebelum si pejabat menyampaikan maksud dan tujuannya, asy Syekh sudah terlebih dahulu berbicara kepada sang utusan.

Asy Syekh berkata begini, “Pak, kalau seandainya bapak punya anak yang kuliah di fakultas Hukum universitas Gajahmada semester 4, kemudian anak bapak itu kuliah sambil bekerja untuk membiayai dirinya sendiri agar tidak membebani orang gitu,
kira-kira bapak bagaimana?” Mendengar pertanyaan asy Syekh, si pejabat pun terkejut bukan main. Bagaimana tidak, meskipun asy Syekh berkata 'seandainya’, tapi yang dikatakan asy Syekh itu memang begitu adanya. Bapak itu memang punta anak yang sedang kuliah di fakultas, universitas, dan semester sepcni yang disebutkan asy Syekh.

Karena si pejabat sedang terkejut, maka dia tidak segera menjawab pertanyaan asy Syekh. Asy Syekh pun bertanya lagi, “Bagaimana, pak?” Dengan agak gugup, pak pejabat itu menjawab, “Ya tentu senang, pak Yai. Dia akan saya anggap sebagai anak yang berbakti. ”

Asy Syekh pun kemudian menimpali, “Nah, itulah pak, saya ingin seperti itu. Saya ingin menjadi anak yang berbakti kepada bapaknya. Saya tidak ingin merepotkan orang tua saya. Oleh karena itu, dalam membangun pondok ini saya ingin mandiri, pak” Singkat cerita, maka uang sekoper itu pun harus dibawa kembali ke Jakarta.

Di lain waktu, pak Harto pemah menyampaikan kepada seorang pejabat yang dikenal dekat dengan asy Syekh. Pak Harto menjanjikan akan memberikan bantuan yang sangat besar dengan syarat agar panitia pembangunan pondok PETA mengajukan proposal. Sejak awal sebenarnya asy Syekh sudah enggan dan tidak mau menanggapinya. Namun, atas desakan panitia, asy Syekh pun dengan bijaksana kemudian mengiyakan.

Mereka pun kemudian dengan semangat segera membuat proposaL Setelah proposal tersebut jadi, mereka lalu mengajukal proposal itu ke hadapan asy Syekh untuk ditandatangani. Namun, asy Syekh kemudian menyuruh mbah Slamet untuk mengistikharohinya terlebih dahulu. Temyata, hasil istikharoh mengatakan bahwa bantuan itu tidak akan ada manfaat dan barokahnya. Maka, proposal itu pun oleh asy Syekh diabaikan. pendek kata, bangunan pondok PETA yan g berdiri megah di tengah kota Tulungagung itu, bisa dipastikan tidak serupiah pun terdapat uang yang berasal dari pemerintah.

Pernah pula, ada seorang big boss yang datang ke Pondok PETA. Melihat pondok yang belum jadi, sang big boss menyampaikan keinginannya untuk menuntaskan pembangunannya pondok sampai tuntas. Asy Syekh pun menolaknya secara halus. Di lain waktu asy Syekh mengatakan, “lha kalau bangunan pondok im' diselesaikan oleh seseorang saja, kan kasihan murid-murid pondok sini yang telah sejak dulu ikut membangun pondok ini. Amal dan kebanggaan mereka akan ‘tenggelam' dan menjadi tidak kelihatan karena tertutup amal satu orang saja. Padahal, bangunan pondok ini dibangundi atas keringat mayoritas orang-orang kecil.”

Asy Syekh pemah pula mengatakan bahwa pada sekitar tahun 1990, pada saat beliau berkeinginan membongkar pintu gerbang asli pondok yang hanya selebar 1 meter untuk diperlebar dan dibangun pintu gerbang yang representatif, beliau didatangi mbah Kyai Mustaqim. Asy Syekh al Maghfurlah mbah Kyai Mustaqim mengatakan. “Sudahlah, pintu gerbangnya tidak usah dibongkar dan diperlebar. Biarkan seperti itu saja Pondok sini itu ibarat liang (Jawa, leng) semut. Dari luar tampak kecil tapi di dalam isinya sangat banyak.”

Tentang keberadaan pintu masuk pondok PETA yang sempil namun di dalamnya bisa memuat banyak orang, hal itu pernah dikatakan asy Syekh al Quthub al Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, rokhimahulloh, Gresik, pada sekitar tahun 1955. Ketika itu ada beberapa sesepuh warga Kampungdalem, Tulungagung yang sowan kepada beliau untuk berguru kepada beliau. Namun, Habib Abubakar mengatakan bahwa ada seorang mursyid yang kamil mukamil yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Habib Abubakar menisyaratkan  bahwa rumah sang mursyid itu berpintu kecil namun luas di dalamnya.

Demikian pula ketika asy Syekh akan mengecor lantai 2 yang
termasuk di dalamnya merupakan atap maqom Mbah Mustaqim. Ketika itu, Syekh Mustaqim yang merupakan 'shohibul maqom ' kembali 'mendatangi' beliau. Mbah Mustaqim mengatakan kepada asy Syekh, “Sudahlah, biarkan saja kuburanku kehujanan dan kepanasan.” Oleh karena itulah, seperti yang kita lihat sekarang, makam Mbah Mustaqim tak beratap dan langsung menghadap ke langit.