Menjalin Hubungan Dengan Pejabat Pusat
Sejak 5 tahun pertama asy Syekh menjadi pemimpin umat, beliau sudah memiliki hubungan baik secara pribadi dengan orang orang penting di pemerintahan pusat (Jakarta). Sehingga dengan begitu, asy Syekh bisa memberikan masukan-masukan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Asy Syekh mangatakan bahwa beliau banyak mempunyai kawan akrab di beberapa kementerian, di antaranya kementerian Kehakiman, Kenangan, Indag, Ristek, dan BI, Mabes ABRI dan Polri, Kejaksaan Agung, Bea Cukai, dan lain-lain. Secara pribadi asy Syekh berhubungan baik dengan Wapres Adam Malik, Wapres Tri Sutrisno, Kapolri Anton Sujarwo, dan masih banyak lagi 'bintangbintang' yang bertebaran di TNI dan Polri.
Asy Syekh lebih suka hubungan pertemanan beliau dengan para pejabat itu bersifat pribadi dan kekeluargaan. Sehingga, hubungan baik asy Syekh dengan para pejabat dan jenderal itu sampai ke isteri dan anak-anak mereka. Oleh karena itu, banyak orang yang tidak mengetahui bahwa asy Syekh memiliki banyak teman orang-orang penting. Kunjungan para pejahat itu kepada asy Syekh, baik waktu beliau berada di Jakarta maupun di Tulungagung, juga sering dilakukan secara diam-diam. Sehingga, jangankan orang luar, di antara mereka sendiri pun saling tidak mengetahui kalau mereka masing-masing memiliki hubungan dekat dengan asy Syekh.
Asy Syekh pemah mengatakan bahwa beliau adalah guru in. telijen Indonesia. Bagaimana tidak, sebelum mereka tahu ada suatu kej adian, asy Syekh sudah lebih dahulu memberitahu mereka akan adanya suatu kejadian jauh hari sebelum peristiwa itu benar-benar terjadi. Selain itu, yang membuat mereka semakin heran, ada salah seorang direktur pendidikan intelijen di Bogor pernah mendapati asy Syekh tiba-tiba sudah berada di ruangannya. Padahal, untuk masuk ke ruangan itu merupakan hal yang mustahil bagi masyarakat.
Pemah pada akhir tahun 1979, asy Syekh memberitahukan ke pada penulis bahwa pada saat itu penulis 'berada di bawah pengawasan' aparat keamanan. Kata asy Syekh, nama penulis tercatat di kantor pusat sana. Beliau berpesan agar penulis berhati hati. Eee... temyata benar juga. Selang beberapa minggu kemudian penulis sempat mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari salah satu lembaga keamanan. Waktu itu penulis ditengarai akan melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah... hehehe... luar biasa... (padahal waktu itu penulis baru berumur 17 tahun).
Mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (1977).
Meskipun asy Syekh sedang berkonsentrasi membangun pondok, namun hal itu tidak menjadikan beliau mengabaikan nasib umat dan rakyat jelata. Pada masa itu, akhir dekade 1970 sampai tahun 1995-an, pemerintah Orde Baru di bawah kepimpinanp presiden Suharto sedang gencar-gencamya melaksanakan pembangunan di berbagai bidang.
Di satu sisi, rakyat merasakan dampak positif hasil pembangunan.
Namun, di sisi lain, proses pembangunan itu menuai ekses negatif bagi rakyat kecil. Dalam implementasinya, pemerintah melakukan pendekatan secara represif, sehingga tidak sedikit rakyat yang merasa dirugikan. Di bidang hukum banyak umat dan wong cilik (rakyat jelata) yang semakin tidak berdaya.
Mengetahui hal seperti itu, asy Syekh merasa sangat prihatin. Beliau pun tidak tinggal diam. Beliau berfikir bahwa rakyat perlu pembelaan. Rakyat kecil yang buta hukum membutuhkan pendampingan dan advokasi. Maka, sejak tahun 1977 beliau mulai mencetak ahli-ahli hukum yang nantinya bisa mendampingi, membela, dan mengadvokasi rakyat yang tengah menghadapi permasalahan hukum. Maka, disekolahkanlah kader-kader terbaik asy Syekh ke IlHP (Institut llmu Hukum dan Pengacara) di Surabaya.
Tahun 1977 merupakan angkatan pertama terdiri dari 5 orang, yaitu:
- bpk. Atimiyanto, alm. (Blitar),
- bpk. H. Soenjoto (Blitar),
- mas Lutfi, alm. (Tulungagung),
- mas H. Ali Imron (Kediri), dan
- mas H. Moch. Choirudin (Blitar).
Setelah itu, secara bergelombang, setiap tahun asy Syekh mengirimkan kader-kader muda tempaan beliau ke kampus IIHP yang beralamat di jl. Darmo Kali, Surabaya. Sedangkan, untuk indekosnya asy Syekh menempatkan mereka di rumah kakak beliau, alm. bpk. H. Djam'an Perwiro, S.H. di jl. Keputran Pasar Kecil 1/81, Kampung Kedondong Kidul, Surabaya.
Untuk pembiayaannya, mulai biaya kuliah dan kebutuhan pendukungnya, transportasi, sampai biaya hidup sehari-harinya, semua itu di-handle sepenuhnya oleh asy Syekh dari kantong pribadi beliau sendiri dan dari beberapa orang dekat beliau. Pak Sarni adalah orang yang biasa diutus asy Syekh untuk mengirimkan uang dan beras ke Surabaya.
Beberapa tahun kemudian didirikanlah Lembaga Bantuan Hukum PETA (LBH PETA) di Tulungagung dan Blitar. Waktu itu yang sempat menjadi kliennya adalah orang-orang yang dianggap melakukan makar terhadap pemerintahan Orde Baru yang terkenal dengan sebutan Komando Jihad. Asy Syekh tetap meakukan pembelaan terhadap mereka kendati mereka sebenarnya bukan dari kalangan NU. Asy Syekh hanya melihat bahwa pada saat itu umat Islam sedang didlolimi rezim penguasa.
Selain asy Syekh memberikan pembelaan kepada rakyat jelata dan orang-orang yang teraniaya, beliau juga ingin menghilangkan stigma negatif terhadap profesi pengacara yang waktu itu terkenal dengan sebutan 'pokrol'. Profesi pokrol di mata masyarakat memiliki image miring. Padahal, itu hanya dilakukan oleh beberapa oknum pokrol. Asy Syekh selalu positive thinking, bahwa kader-kader beliau tidaklah seperti itu.