Mendirikan Jama'ah Anak Nahdlotul Ulama' / ANU (1996)
Sejak sekitar tahun 1993 asy Sykh merasa sangat prihatin terhadap rezim 0rde Baru yang semakin tidak suka kepada jam'iyah NU terutama ketuanya, yaitu KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur). Rezim Orde Baru di bawah komando presiden Suharto waktu itu beranggapan bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat berbahaya yang bisa merongrong kewibawaan pemerintah, bahkan bisa meruntuhkan kekuasaan mereka.
Tekanan terhadap Gus Dur dan NU-nya kian hari semakin berat. Bahkan, sudah cenderung menghalalkan segala cara, termasuk ancaman terhadap jiwa Gus Dur. Puncak kejengkelan mereka semakin kelihatan paska Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal l9 Desember 1994 yang memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua PBNU yang ke tiga kalinya, masa khidmah 1994-1999.
Yang juga membuat asy Syekh sangat prihatin adalah prilaku para tokoh panutan masyarakat. Dalam situasi yang seperti itu, mereka justru memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan pribadi tanpa mau memikirkan keselamatan agama dan umat. Ketika itu asy Syekh menyindir mereka dengan membuat lukisan di tembok pondok PETA. Lukisan itu terdiri dari beberapa gambar, di antaranya gambar kepala berkopiah namun wajahnya berbentuk anyaman bambu (Jawa, gedhek). Lalu ada lagi gambar orang bersorban sedang membawa koper bergambar uang $ AS.
Menghadapi kekuatan orde baru itu, asy Syekh memutuskan untuk melanjutkan langkah yang bersifat politis. Langkah beliau yang penama adalah memprakamai terbitnya buku “Banser Berjihad Menumpas PKI” yang disusun oleh bpk. Drs. H. Agus Sunyoto, M.Pd., dkk. Buku yang diterbitkan pada bulan Agustus 1996 tersebut antara lain berisi cerita tentang latar belakang dan sejarah berdirinya Banser Ansor NU berikut peranatmya dalam menumpas kekuatan PKI pada tahun 1965-1968. Tujuan utama penulisan buku itu adalah untuk memberi pengertian kepada generasi muda NU bahwa peran para pemuda NU sangat dibutuhkan bangsa dan negara.
Launching buku tersebut dilakukan bersamaan dengan puncak peringatan harlah GP Ansor ke 62 yang dipusatkan di pondok pesantren Lirboyo, Kediri, pada tanggal 31 Agustus 1996. Dalam acara harlah itu juga diadakan gelar pasukan Banser dengan inspektur upacara Pangdam V/Brawijaya Mayjen. Imam Utomo. Pada saat itu hadir di lapangan Brawijaya, Kediri,
puluhan ribu anggota Banser.
Ke dua, asy Syekh kemudian juga memprakarsai berdirinya ANU (Anak Nahdlatul Ulama). Anggota jamaah ANU ini mayoritas adalah santri-santri beliau sendiri. Uniform yang mercka kenakan berupa kaos hitam bertuliskan ANU dan Banser Ansor, kopiah hijau, serta sorban dengan kombinasi wama hijau dan putih. Pada bagian punggung kaos ANU terdapat parap asy Syekh yang mirip huruf 'LM'. Huruf LM itu, di kalangan jamaah ANU, sering diartikan sebagai inisial dari Logam Mulia atau kalimah 'Laa ilaaha illalloh Mukhammadur rosululloh.
Asy Syekh mengarahkan jamaah ANU yang ada di seluruh pelosok negeri agar mereka selalu berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah serta mentaati peraturan-peraturan pemerintah termasuk Peraturan lalu lintas. Selain itu, mereka juga harus senantiasa bersikap sopan dan santun kepada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Asy Juga berpesan kepada Jamaah ANU agar mereka menjadi orang yang sebagaimana disabdakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, “Khoirun naas anfa 'uhum linnaas” (Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain).
Oleh karena itulah diberbagai daerah jamaaah ANU, di kelompoknya masing-masing, sering' mengelar kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti Prokusih (Program Kuburan Bersih), Prokasih ( Program Kali Bersih) donor darah,khitanan masal, santunan kepada kaum dhuafa dan anak-anak yatim, membersihkan dan mengecat musholla, madrasah, pondok pesantren, dan menyapu jalanan.
Selain itu, di berbagai kesempatan sering juga dilakukan show of force bersama dengan GP Ansor dan Banser. Jamaah ANU pemah pula mengucapkan ikrar ANU di masjid agung Al Munawwar, Tulungagung. Salah satupoint penting dalam ikrar yang dihadiri belasan ribu jamaah ANU itu ialah mengangkat bpk. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Panglima tertinggi ANU. Dua hal terakhir, yaitu show of force dan menambahkan Gus Dur sebagai panglima tertinggi ANU adalah lebill bersifat politis.
Istighotsah Tambaksari, Surabaya.
Pada bulan Desember 1996, bersama puluhan ribu warga Nahdliyin yang datang dari seluruh penjuru Jawa Timur, belasan ribu jamaah ANU pun ikut serta dalam acara istighotsah kubro yang diselenggarakan PWNU Jawa Timur di Gelora lO November (stadion Tambaksari), Surabaya. Ketika itu jamaah ANU mampu 'menghitamkan' lapangan rumput stadion Tambaksari.
Pada hari Minggu di bulan Desember itu, sejak dini hari asy Syekh sudah datang di stadion Tambaksari. Saat itu asy Syekh hanya bersama kang Zein, driver beliau. Pada ba'da Subuh, saat stadion masih sepi, asy Syekh tampak berjalan mengelilingi stadion sendirian.
Selain asy Syekh mengirimkan belasan ribu santri beliau, asy Syekh juga mengutus jamaah hadrah al Muhibbin, Kampungdalem, Tulungagung untuk membacakan sholawat ad Diba'i pada acara istighotsah itu. Nah, pada saat dibacakan asyroqol, ketika semua hadirin berdiri (makhalul qiyam), pada saat itu ada santri senior asy Syekh yang melihat langit seakan-akan terbuka dan turunlah para malaikat dan arwah para ambiya' wal mursalin, 'alaihimus sholatu wa salam. Saat itu semua hadirin merasakan suasana khidmat dan diliputi rasa haru yang luar biasa.
Pada saat dibacakannya doa istighotsah oleh para masyayikh dan kyai-kyai sepuh, banyak hadirin yang tak kuasa 'menahan air mata. Bahkan, ketika giliran Gus Dur menyampaikan doa, beliau pun juga menangis.
Beberapa bulan kemudian digelar istighotsah kubro ke dua yang dilaksanakan di lapangan Makodam Brawijaya. Ketika itu asy Syekh kembali mengirim jamaah ANU dengan jumlah yang tidak kalah banyak dibanding istighotsah Tambaksari.
Beberapa hari sebelum istighotsah Makodam, asy Syekh oleh panitia diminta agar ikut memimpin doa istighotsah. Permintaan panitia ltu kemudian asySyekh delegasikan kepada mbah Ghofur. Namun, sebelumnya asy Syekh memberi mbah Ghofur teks doa yang akan dibaca pada acara istighotsah tersebut.
Terkait dengan teks doa tersebut, ada satu kata (... .buldanan ...) yang menurut alm. KH. Abdul Wahid Zuhdi kurang sesuai dengan tata bahasa yang benar. Menanggapi hal itu asy Syekh berkata, “Ya nggak tahu, kyai Wahid, lha saya menerimanya dari
Nabi Khidlir ya seperti itu. . Kyai Wahid pun menjawab, “0, ya nggak tahu kalau begitu, Yai. . .”