Meninggalnya Gus Saladin
Pada tahun 1979, seperti biasanya, kota Tulungagung dilanda banjir. Genangan air yang menutup sebagian besar wilayah kota Tulungagung itu sudah terjadi sejak zaman bahuela. Setiap datang musim hujan, sudah bisa dipastikan terjadi ‘acara rutinan’ itu. Banjir tahunan itu baru berhenti sejak dibukanya terowongan Neyama di Tulungagung Selatan pada tahun 1986.
Pada hari terjadinya peristiwa itu, sejak pagi asy Syekh berbincang-bincang dengan pak Atimiyanto di rumah asy Syekh yang berada di belakang masjid Al Munawwar (sebelum ditempati pak Kyai Muslim). Rencananya, hari itu pak Atimiyanto akan berangkat ke Jakarta.
Sementara itu di ndalem, tiba-tiba ibu Nyai Umi Zahro’ dengan agak gugup mencari keberadaan putera beliau, Gus Saladin yang sebelumnya tidur sendirian di atas dipan di kamar. Ketika bu Nyai melihat gus Saladin tidak berada di tempat tidur, beliau mengira kalau Gus Saladin sedang diajak keluar kang Pandi yang merupakan pengasuh beliau. Maka, bu Nyai pun kemudian memanggil-manggil kang Pandi untuk memastikan apakah Gus Saladin memang sedang bersama kang Pandi.
Setelah kang Pandi menghadap bu Nyai, dia mengatakan kalau dia tidak mengetahui keberadaan Gus Saladin. Kang Pandi justru menanyakan tidakkah Gus Saladin sejak pagi tidur di kamamya. Meskipun dikatakan kalau Gus Saladin tidak ada di kamar, kang Pandi tetap menengok ke kamar. Dan, memang benar, bayi momongannya itu tidak ada di tempat tidumya. Maka, kegelisahan pun semakin menerpa hati sang bunda. Bu Nyai segera menyuruh kang Pandi untuk mencari ke rumah Utara (tempat asy Syekh saat itu berada).
Karena waktu itu air hampir setinggi lutut, praktis langkah kang Pandi menuju ke rumah Utara pun tidak bisa cepat. Setelah dicari dan ditanyakan ke sana ke mari ternyata tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan Gus Saladin. Mendengar laporan kang Pandi, sang bunda pun mulai gugup. Seisi pondok dikerahkan untuk mencari keberadaan satu-satunya putera laki laki kesayangan beliau (waktu itu). Hasilnya? Nihil.
Kang Pandi pun kembali menengok ke dalam kamar. Dan, tersiraplah darah kang Pandi ketika melihat bantal dan guling bayi asuhannya tampak mengapung di atas air di dekat dipan. Kang Pandi dan pak Puh Mukri (kakak bu Nyai) pun segera bertindak. Lubang-lubang saluran air segera ditutup untuk mencegah agar sampah dan kotoran dari kali Jenes tidak masuk ke dalam rumah. Kang Pandi lalu merogoh kolong dipan tempat di mana Gus Saladin semula tidur. Air banjir waktu itu masuk ke kamar Sampai setinggi lutut. Dan, alhamdulillah, pada akhimya tubuh Gus Saladin pun ditemukan di bawah kolong dipan. Tubuh sang bayi mengapung tertahan langit-langit dipan. Bahkan, ketika tangan kang Pandi merogoh lantai kolong dipan, tangan kang Pandi malah berada di bawah tubuh sang bayi. Rupanya, ketika tidur tadi beliau terjatuh ke air kemudian masuk ke kolong dipan.
Setelah ditemukan, bu Nyai semakin kacau. Bu Nyai menangis histeris. Beliau mendapati putera tercinta sudah tidak bergerak lagi. Tubuhnya pun sudah membiru. Asy Syekh pun segera diberi tahu. Setelah asy Syekh datang dan melihat kondisi sang bayi, beliau dengan tenang kemudian menyuruh untuk dipanggilkan pak Soim. Pak Soim adalah murid pondok PETA yang sehari-harinya bertugas sebagai mantri kesehatan yang berdinas di RSUD dr. Iskak, Tulungagung.
Setelah pak Soim datang, beliau langsung memeriksa dengan teliti keadaan Gus Saladin dengan memakai stetoskop. Seusai memeriksa, pak Soim berkata seraya menggelengkan kepala, “Sudah tidak ada, Yai.” Demi mendengar keterangan pak Soim, maka pecahlah tangis bu Nyai dan orang-orang yang ada di situ. Seisi pondok pun menjadi heboh.
Sementara itu, sejak awal asy Syekh sebenamya sudah melihat dengan bashiroh (mata hati) beliau bahwa pada saat itu ruh Gus Saladin sedang bersama malaikat maut menyaksikan semua kejadian di rumah itu. Setelah mendapat kepastian dari pak Soim bahwa Gus Saladin memang sudah positip ‘meninggal dunia’, maka asy Syekh pun kemudian mengangkat tangan dan berdoa, "Yaa Alloh, kalau sekiranya anak saya ini masih ada manfaatnya Untuk keluarga dan umat, maka saya mohon kepada-Mu, yaa Alloh, kembalikanlah dia. Tapi, kalau sudah tidak ada manfaatnya lagi, maka saya serahkan sepenuhnya kepadaMu, yaa Alloh.”
Setelah itu, lalu asy Syekh mulai melakukan ikkhtiarr bi idz-nillah. Asy Syekh kemudian melepas semua yang dikenakan si bayi.
Badan Gus Saladin kemudian beliau handuki lalu sekujur tubuhnya dibaluri minyak kayu putih. Setelah itu ditengkurapkan lalu beliau urut dan dipliritnya. Berikutnya, kedua kaki Gus Saladin beliau pegang lalu tubuh kecil mungil itu beliau gantung dengan posisi kepala di bawah (Jawa, dijantur). Tiba tiba keluarlah air dari mulut Gus Saladin. Setelah air yang keluar dari mulut mulai habis, kemudian ditamparlah (Jawa, dicablek) pantat Gus Saladin sekeras-kerasnya. Dan, atas kehendak Alloh yang Maha Agung, menangislah sang bayi dengan suara yang keras. Suara keras tangis sang bayi dibarengi pula dengan ucapan hamdalah serta tangis bahagia sang bunda dan orang-orang yang berada di situ.
Terkait dengan peristiwa yang sangat dramatis dan bersejarah tersebut, asy Syekh pernah mengatakan kepada penulis, “Dadi, Saladin kuwi tau ngalami, lek wong Jowo ngarani ‘mati sakjeroning urip ’. ” (Jadi, Saladin itu pemah mengalami, kalau orang Jawa menyebutnya ‘mati di dalam hidup’). Dalam khazanah ilmu kebatinan Jawa, seseorang yang bisa mencapai tingkat ’mati sakjeroning urip ’ itu adalah manusia yang paripurna.