Nyetir Mobil Dalam Keadaan Tertidur
Pengalaman aneh bin ajaib ini penulis alami sendiri pada pertengahan tahun 1982. Ketika itu penulis diajak asy Syekh ke Jakarta lewat jalur Selatan dengan tugas utama sebagai driver bergantian dengan mas Darusman. Dalam perj alanan beberapa puluh kilometer menjelang masuk kota Tasikmalaya, ketika di daerah hutan, pada saat penulis mendapat giliran mengemudikan mobil, penulis tiba-tiba tertidur.
Sebelum tertidur, setahu penulis di kanan kiri jalan hanya ada pepohonan. Setelah itu, karena kantuk yang tak tertahankan, penulis pun tertidur dengan tangan tetap memegang kemudi. Ketika itu bu Nyai sempat melihat ada sesosok perempuan berambut panjang memakai baju warna merah dengan sorot mata yang menyeramkan. Bu Nyai memberitahu penulis kalau ada perempuan itu tapi penulis tidak merespon sama sekali. Beliau tidak tahu kalau saat itu penulis sudah tertidur pulas. Penulis baru terbangun ketika suasananya sudah berada di kota kecamatan. Begitu terbangun dan melihat kondisi jalan sudah berubah, maka penulis pun terkejut setengah mati.
Saat itu, duduk di jok depan di samping penulis adalah bu Nyai Zahro’. Sedangkan, asy Syekh duduk di jok belakang bersama dengan lik Tin (adik bu Nyai) dan mas Darusman. Saat itu waktu sekitar pukul 23.oo.
Ternyata, pengalaman seperti itu pernah pula dialami mas Zein dan mas Edi Tentara.
Jin Yang Akan Ikut Sholat Jama’ah.
Sekitar tahun 1977, di suatu sore hari, bertempat di ruang tamu asy Syekh, ketika itu asy Syekh sedang menerima beberapa orang tamu. Pada saat sedang asyik-asyiknya j agongan, tiba-tiba masuklah seseorang dengan membawa semacam gentong yang digendong dengan kain. Orang tersebut mengenakan pakaian serba hitam. Umurnya sekitar 60 tahunan. Tidak sebagaimana lazimnya orang bertamu, tanpa ba bi bu, orang tersebut langsung duduk di pojok ruangan. Melihat ada tamu yang baru datang, maka tamu-tamu yang lainnya segera berpamitan kepada asy Syekh. Tinggallah asy Syekh berdua dengan sosok yang aneh itu.
Setelah itu, asy Syekh menanyai tamu misterius tersebut, “Ada perlu apa, pak?” Sebenarnya asy Syekh sudah tahu persis siapa sebenarnya laki-laki itu. Tamu misterius itu sejatinya adalah dari golongan jin. "orang " itu menjawab, “Mekaten, Yai, sowan kulo menika, kula badhe nyuwun ijin dumateng panjenengan badhe nderek jama’ah sholat gangsal wekdal saben dinten dateng langgar pondok mriki. Menawi dipun parengaken, sedaya menika kula aturaken dumateng panjenengan. ” (Begini, Yai, kedatangan saya ini, saya minta ijin kepada panjenengan mengikuti jama’ah sholat lima waktu setiap hari di surau pondok sini. Kalau diperkenankan, semua ini saya haturkan kepada panjenengan).
Sambil berkata begitu, si tamu tersebut memegang barang bawaannya itu. Barang tersebut dari luar berbentuk sebuah gentong yang terbuat dari tembaga. Asy Syekh pun bertanya, “Apa sih itu, pak?” Orang tersebut menjawab, “Monggo, panjenengan lihat sendiri, Yai.”
Asy Syekh pun kemudian berdiri lalu melihat isi gentong itu. Ternyata, isi gentong itu adalah perhiasan emas bermata berlian dan batu permata mulia lainnya yang sangat indah dan berkwalitas tinggi. Asy Syekh menilai bahwa berlian-berlian yang gemerlapan itu memiliki kwalitas tinggi karena asy Syekh juga sangat paham dengan ciri-ciri batu permata dan berlian. Bentuknya bermacam-macam, ada gelang, kalung, liontin, giwang, cincin, bahkan binggel (gelang yang biasa dipakai di kaki). Asy Syekh kemudian mencoba untuk mengangkat gentong itu. Beliau lalu jongkok dan merangkul gentong itu untuk kemudian beliau angkat. Ternyata, dengan mengerahkan segenap tenaga beliau, gentong itu tetap bergeming. Dua tiga kali asy Syekh mencoba mengangkatnya, tapi gentong itu tak bergeser se-inchi pun.
Sejurus kemudian asy Syekh lalu mengambil segenggam perhiasan itu. Sembari menunjukkan genggaman itu kepada si tamu, asy Syekh berkata, “Pak, ini saya minta.” Si tamu pun mengangguk, “Inggih, Yai.” Segenggam perhiasan itu oleh asy Syekh lalu dimasukkan ke dalam mulut beliau. Perhiasan itu kemudian beliau kulum sambil beliau bacakan sholawat Syadziliyah tiga kali. Asy Syekh mengatakan bahwa barang-barang yang di bawah kekuasaan jin, akan menjadi "netral" apabila dibacakan sholawat Syadziliyah. Setelah itu, perhiasan itu beliau masukkan ke dalam saku baju beliau.
Asy Syekh kemudian duduk kembali. Beliau lalu berkata, “Begini ya, pak, surau itu yang membangun ayah saya. Tujuan ayah saya membuat surau itu adalah untuk tempat beribadah murid murid pondok sini. Sedangkan saya, sebagai penerus ayah saya, hanya bertugas untuk menjaga dan merawat pondok dan surau itu. Jadi, mohon maaf pak, saya tidak bisa mengijinkan bapak Untuk ikut berjama'ah di surau pondok sini.”
Si tamu misterius tersebut lalu berkata, “Ya sudah Yai kalau tidak boleh.” Sambil berkata begitu si tamu lalu membebat gentong itu dengan kain selendang yang dibawanya. Lalu, dengan entengnya gentong itu digendongnya. Tanpa pamit, si tamu kemudian keluar dari ruangan asy Syekh melalui pintu utama yang menghadap ke Selatan*).
Kalau menuju keluar pondok, semestinya "orang" tersebut berbelok ke arah Utara lalu melintas di sebelah Barat ruang tamu yang di situ terdapat sepasang jendela besar menghadap ke Barat. Namun, setelah asy Syekh menunggu beberapa detik, ternyata ‘orang‘ itu tidak kunjung lewat. Asy Syekh pun kemudian berdiri di pintu ruang tamu, lalu bertanya kepada beberapa orang santri yang sedang duduk di teras musholla yang hanya berjarak sekitar 5-7 meter. Asy Syekh bertanya, “Hei,kalian barusan tadi lihat ada orang berbaju hitam keluar dari sini apa tidak?” Mereka pun menj awab, “Mboten (tidak), Yai.”
Setelah kira-kira tiga bulan kemudian, segenggam perhiasan yang asy Syekh dapat dari "pak jin’ tersebut beliau jual dan kemudian beliau belikan sebuah mobil Colt T 120 yang masih baru. Selang 1 tahun kemudian, mobil itu pun terpaksa harus dijual karena asy Syekh terdesak kebutuhan membeli besi dan semen untuk mengecor bangunan pondok PETA.
Peristiwa yang dialami asy Syekh tersebut juga pernah dialami pak Lim (Bpk. Kyai Imam Muslim). Kejadiannya sekitar tahun 1985. Seperti biasanya, setiap ba’da Ashar, pak Lim mengadakan pengajian khusus santri-santri di kediaman beliau (sekarang berubah menjadi kantor sekretariat Sultan Agung 78).
Pak Lim memperhatikan, dalam beberapa hari terakhir itu ada seseorang yang misterius yang mengikuti pengajian beliau. "Santri baru"itu ikut duduk bersama santri-santri lama yang jumlahnya tidak seberapa banyak, hanya sekitar 10 orang. Namun, anehnya, dia selalu duduk paling belakang dan hanya diam saja. Setelah berjalan beberapa hari, tatkala para santri sudah pu-lang, ‘santn" misterius itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Maka, kemudian ditanyailah "santri" itu. Pertanyaan pak Lim seputar nama, alamat, dan tujuan dia ke situ. Kemudian dia pun menyampaikan tujuannya ke situ. “Saya mohon ijin untuk bisa mengikuti pengajian panjenengan di sini setiap hari.”
Karena pak Lim tahu bahwa sosok yang sedang berada dihadapan beliau itu sebenarnya bukanlah manusia tetapi dari golongan jin, maka pak Lim pun berkata, “Mas, saya di sini itu yang menempatkannya Kyai Djalil. Yang menyuruh saya mengaji di sini juga Kyai Djalil. Rumah ini pun milik Kyai Djalil. Kalau sampeyan minta ijin mengikuti pengajian di sini, ya sampeyan minta ijinnya kepada Kyai Djalil, jangan kepada saya. Sampeyan datang saja kepada beliau. Nanti, kalau beliau mengijinkannya ya sampeyan tidak apa-apa ikut pengajian di sini.”
‘Si mas’ itu pun menjawab, “Inggih, pak Yai.” Kemudian, dia pun berlalu tanpa berpamitan. Maka, sejak saat itu "santri misterius itu pun tidak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Kata pak Lim kepada penulis, “Ya tidak mungkinlah, mas Pur, dia berani ketemu Yaine, he he he... Wong itu cuma taktik saya untuk meminta dia pergi secara halus.”
Di lain peristiwa, pak Lim juga pernah akan diikuti serombongan jin yang terdiri dari 6 sosok jin. Mereka adalah jin-jin yang semula menghuni asrama tentara yang terletak tidak jauh dari pondok PETA. Pada saat asrama tersebut dibongkar, maka mereka pun merasa terusir. Mereka lalu mencari tempat hunian baru. Tempat yang mereka lirik adalah sebuah pohon jambu besar yang tumbuh di halaman rumah pak Lim.
Sebelum mereka menempati pohon jambu itu, mereka terlebih dahulu minta ijin kepada pak Lim. Mereka mengatakan ka]au diijinkan bertempat tinggal di situ, maka mereka berjanji akam membantu apa pun yang dibutuhkan pak Lim. Namun, pak Lim menjawab dengan tegas bahwa beliau tidak mengijinkan dan tidak mau dibantu. Si jin pun tetap mendesak. Karena desakan itu. pak Lim pun mengatakan bahwa mereka disuruh minta ijin dulu kepada asy Syekh.
Mereka pun lalu memberanikan diri untuk menghadap asy Syekh. Tapi, apa yang terjadi? Jangankan menghadap, mau masuk ke pondok PETA saja mereka tidak berani. Mereka hanya berjalan mondar-mandir dari Timur ke Barat (Jawa, ngetan ngulon) di depan pondok sebelah Utara jalan. Mereka semakin tidak berani karena mereka tahu asy Syekh sudah tampak menunggu mereka masuk ke pondok. Saking takutnya, mereka pun akhirnya malah kabur. Setelah mereka pergi, asy Syekh pun memanggil pak Lim. Asy Syekh langsung bertanya kepada pak Lim, “Kang Lim, apa ada jin mau ikut sampeyan? Jin-nya berjumlah 6, yang satu lumpuh dan digendong?” pak Lim pun ' menjawab, “Nggih, Yai. ”
Pemah pada suatu malam, asy Syekh datang ke masjid Setono Gedong yang terletak di jalan Doho, Kota Kediri. Waktu itu beliau bermaksud untuk sholat dan berwirid di masjid tua tersebut. Setelah asy Syekh berada di dalam masjid, maka kemudian asy Syekh langsung mengerj akan sholat sunnat Tahiyyatul Masjid dan sholat-sholat sunnat lainnya. Selesai mengerjakan sholat, asy Syekh pun langsung duduk dengan posisi bersila untuk kemudian berwirid.
Tidak berapa lama kemudian, asy Syekh mendengar suara orang yang ngomong dengan nada menggerutu. Suara itu mengatakan begini, “Huh... mentang-mentang orang hebat... orang digdaya. . ., merebut ternpat (Jawa, ngendeh) milik orang seenaknya sendiri… Lha wong ditinggal keluar sebentar aja tempatku kok sudah direbut... akhirnya asy Syekh faham kalau yang ngomong itu adalah jin. Tempat yang dipakai asy Syekh untuk sholat itu sebelumnya dmakai oleh jin itu untuk beri'tikaf. Tapi, mungkin ada satu keperluan, maka jin itu lalu keluar masjid sebentar. Setelah selesai dengan urusannya, jin itu kembali lagi ke tempatnya semula untuk melanjutkan i’tikafnya. Setelah dia kembali, eee.. ternyata lha kok tempatnya sudah ditempati asy Syekh. Maka, si Jin pun jadi jengkel.
Namun, kata asy Syekh, ucapan jin itu sebenarnya adalah jebakan. Dia berkata seakan-akan mengunggul-unggulkan asy Syekh tapi sebenarnya dia bertujuan agar asy Syekh merasa bangga karena dipuji sebagai orang yang hebat, sakti, digdaya, dan sebagainya. Nah, ketika seseorang di dalam hatinya muncul rasa bangga, ujub, atau sombong, maka itulah yang dikehendaki Orang itu otomatis akan jatuh ke lembah kenistaan. Asy Syekh pun kemudian mengalah dan berpindah ke tempat yang lain.