Mondok Di PP AL-FALAH Ploso Kediri (1959-1961)
Setelah asy Syekh lulus SMP tahun 1958, pada akhir 1959 oleh mbah Mustaqim beliau kemudian dipondokkan di PP. Al Falah Ploso, Mojo, Kediri. Pada saat itu yang bertindak sebagai khodimul ma'had adalah mbah Kyai Ahmad Jazuly bin Usman rokhimahuIloh. yang sekaligus merupakan pendiri ponpes tersebut,
Asy Syekh pernah mengatakan bahwa sejak beliau mondok di ponpes Ploso. setiap beliau pulang dan akan berangkat kembali ke pondok beliau selalu 'diperdengarkan' suara binatang-binatang seperti burung dan ikan yang mendoakan beliau agar beliau itu diberikan ilmu yang bermanfaat. Hal itu terus berlanjut sampai beliau mondok di ponpes Mojosari. Di ponpes Ploso, asy Syekh menempati asrama/kamar
(Jawa, gothakan) 'D'.
Dalam usia yang masih muda (16 tahun) itu asy Syekh sangat menghormati dan memuliakan guru beliau, mbah Kyai Jazuly (w1976). Asy Syekh memiliki kebiasaan membalikkan terompah atau bakiak milik mbah Kyai Jazuly ketika guru beliau tersebut berada di ndalem (rumah) atau di masjid. Setiap mbah Kyai masuk ke ndalem atau masjid, maka terompah mbah Kyai yang dilepas di luar, yang semula menghadap ke arah dalam, akan selalu asy Syekh balik ke arah keluar.
Karena kebiasaan 'membalik terompah' itu selalu asy Syekh lakukan selama asy Syekh berada di pondok, maka hal itu menjadi perhatian mbah Kyai Jazuly. Sehingga, manakala mbah Kyai akan mengenakan terompah dan mendapati terompah beliau dalam keadaan tidak terbalik (tetap mengarah ke dalam), maka beliau akan bertanya kepada santri lainnya, “Gus Djalil apa lagi mulih? ” (Gus Djalil apa sedang pulang?).
Asy Syekh juga mengatakan bahwa Mbah Kyai Jazuly sangat menyayangi beliau. Hampir setiap malam mbah Kyai Jazuly selalu meminta asy Syekh untuk menemani beliau membaca kitab. Sudah sejak lama, di tengah keheningan malam, mbah Kyai Jazuly memiliki kebiasaan mendaras kitab. Di sela-sela mendaras kitab itulah, mbah Kyai Jazuli sering memberikan nasehat-nasehat kepada asy Syekh.
Rasa hormat dan kecintaan asy Syekh kepada mbah Kyai Jazuly
tidak hanya berhenti ketika beliau masih mondok di Ploso saja, namun sesudah beliau mondok di Mojosari pun asy Syekh tetap sering sowan kepada mbah Kyai Jazuly. Bahkan, sesudah mbah Kyai Jazuly wafat (th. 1976) pun, asy Syekh tidak jarang berziarah ke makam mbah Kyai Jazuly.
Asy Syekh pemah bercerita bahwa ketika beliau mondok di Ploso pernah akan berantem dengan seorang Gus (putera seorang kyai) yang juga sama-sama mondok di situ. Si Gus itu acap kali mengganggu asy Syekh ketika beliau sedang menjalani wirid. Sebenarnya, asy Syekh berkali-kali mengajak bicara si Gus itu secara baik-baik. Namun, tampaknya hal itu dia cuekin saja.
Puncaknya, pada suatu hari ba'da Ashar, ketika asy Syekh sedang berwirid di musholla pondok dalam posisi duduk bersila, si Gus itu kembali mengganggu beliau. Dia terus berjalan mengelilingi asy Syekh sambil mengolok-ngolok beliau, “Wah. . . baca khizib-khizib biar jadi orang digdaya, ya? Biar jadi wali, ya?” Kata-kata sinis dan menyakitkan itu terus menerus terlontar dari mulut nyinyir si usil itu.
Untuk beberapa saat asy Syekh masih mampu untuk menahan agar beliau tidak sampai marah. Namun, pada akhirnya darah muda asy Syekh pun 'meledak'. Kata beliau, “Wong cacing saja diinjak berkelit (Jawa, molet).” Asy Syekh lalu berdiri dan berhadap-hadapan dengan si mulut nyinyir itu. Asy Syekh mengatakan begini, “Gus...., kamu anak kyai, aku pun juga anak kyai. Yuk, kita adu kedigdayaan. Seandainya pun aku kalah dan mati di sini, maka bangkaiku insya Alloh tidak akan berbau sampai ke Tulungagung.”
Sambil berkata begitu, asy Syekh mulai memasang jurus-jurus silat beliau. “Ayo, Gus...” tantang beliau. Ternyata, si usil itu hanya besar di mulut saja. Mendengar tantangan asy Syekh nyali Si Gus pun langsung mengkerut. Dia lalu minta maaf kepada asy Sekh dan berjanji tidak lagi.
Ketika asy Syekh sedang mondok di Ploso, teman-teman sepermainan beliau di Tulungagung sering menemui kejadian-kejadian aneh atas diri beliau. Berdasarkan penuturan Bang Farid al Khalifi salah seorang teman akrab beliau, ketika teman-teman asy Syekh bermain sepak bola di alun-alun, tiba-tiba asy Syekh datang dan ikut bermain bola. Atau, pada saat teman-teman asy Syekh sedang 'cangkrukan', secara tiba-tiba beliau datang dan ikut nimbrung bersama mereka. Tetapi, ada yang mengetahui bahwa pada saat yang sama asy Syekh sebenarnya tengah berada di pondok Ploso.
Pada waktu asy Syekh mondok di Ploso itu, beliau pernah mengalami sakit yang cukup serius. Badan beliau panas dan sekujur kulit beliau melepuh seperti layaknya kulit yang terbakar. Menurut bulik Mahfiyah, hal itu, kata orang adalah ujian bagi seorang yang sedang menghafalkan Alflyah. Asy Syekh kemudian dibawa pulang ke Tulungagung. Pada saat sakit itu, meskipun sambil berbaring tak berdaya, asy Syekh tetap bersemangat menghafal Alfiyah. Sehingga, dari bibir beliau kerap terdengar lantunan bait-bait Alfiyah yang sedang beliau hafalkan.
Pada akhimya, asy Syekh tidak terlalu lama menimba ilmu di ponpes Ploso. Beliau mondok di Ploso hanya bertahan selama 2 tahun. Kata asy Syekh, hal ini dikarenakan pada sekitar 6 bulan terakhir beliau sering mengalami sakit. Selain itu beliau juga ingin segera menyusul mbah Lim (bpk. Kyai Imam Muslim) yang pada saat itu sudah terlebih dahulu mondok di ponpes Mojosari, Loceret, Nganjuk.
Mbah Lim adalah murid mbah Kyai Mustaqim. Beliau berasal dari Trenggalek. Pada waktu asy Syekh dipondokkan mbah Kyai Mustaqim ke ponpes Ploso, bersamaan itu pula mbah Lim dipondokkan mbah Kyai Mustaqim ke ponpes Mojosari. Sebelumnya, mbah Lim pemah mondok di ponpes Kelutan, Trenggalek.