Terbentang Lautan Luas di Mulut Asy-Syeikh
Bpk K.H. Maschun, Bendiljati, Sumbergempol, Tulungagung pernah disuruh asy Syekh melihat rongga mulut asy Syekh. Kata asy Syekh, “Kun, kamu lihat...” Setelah itu asy Syekh membuka mulut beliau lebar-lebar. Bpk. K.H. Maschun menyaksikan di rongga mulut asy Syekh tampak terbentang lautan luas. Setelah itu asy Syekh pun bertanya, “Kun, yang namanya samudera, meskipun kemasukan bangkai gajah 10 ekor, kan ya tetap suci, to?”
Diacungi Genggaman Tangan.
Asy Syekh pernah bercerita bahwa ada seorang habaib yang penasaran dan ingin mengetahui derajat beliau. Pada malam harinya, si habib bermaksud menjalankan sholat istikharoh dengan tujuan untuk ‘meneropong’ kedudukan asy Syekh. Ketika masih mengangkat tangan untuk bertakbirotul ikhrom, tiba-tiba di hadapan wajah si habib nampak kepalan tangan sebesar bedug. Melihat hal itu si habib pun lalu menghentikan sholatnya dan langsung balik kanan.
Di Jadikan Wasilah.
Cerita ini dialami oleh seorang warga pulau Bawean, Gresik Pada sekitar tahun l980-an, di sebuah desa di pulau Bawean akan dibangun sebuah jembatan. Namun, pembangunan jembatan itu terkendala dengan adanya sebuah pohon besar yang tumbuh di tepi sungai dan berada di tempat terbentangnya jembatan tersebut. Secara teknis, tidak ada cara lain selain harus memotong pohon besar itu.
Sudah beberapa kali pihak berwenang mencoba memotong pohon yang terkenal ada ‘penghuninya’ itu. Dan, selama itu pula upaya memotong pohon itu selalu mengalami kegagalan. Bahkan, sudah ada beberapa nyawa yang harus melayang karena kemarahan si penghuni (Jawa, mbaurekso). Maka, hal itu berakibat tidak kunjung selesainya pembangunan jembatan yang sangat dibutuhkan masyarakat desa itu.
Akhirnya, ada seorang warga desa setempat, sebut saja namanya Sholeh, yang berinisiatif meminta bantuan asy Syekh. Maka, datanglah si Sholeh ke pondok PETA. Namun, ndilalah, asy Syekh sedang berada di Jakarta untuk waktu yang tidak pasti. Karena si Sholeh harus bekerja dan tidak memiliki waktu banyak, maka setelah beberapa hari menunggu kedatangan asy Syekh yang tidak kunjung tiba, dia pun pulang dengan tangan hampa.
Setelah sampai kembali di Bawean, setiap dia melihat pohon itu, maka rasa galau pun langsung menderanya. Pada puncaknya, si Sholeh pun akhirnya nekad. Diambilnya sebuah alat pemotong pohon lalu dia datangi pohon itu. Setelah berdiam diri sejenak, si Sholeh kemudian mendekati pohon itu seraya mengangkat alat pemotong, sambil berteriak keras, "Kyai Djaliiiil..., saya minta tolooooong...” Sejurus kemudian, lalu dia potonglah pohon itu. Dan,.... “Bruuuukkk...,” akhirnya robohlah pohon itu dengan sukses dan tidak timbul dampak buruk sama sekali (Jawa, niring sambekala).
Terkait dengan peristiwa itu, dengan tersenyum asy Syekh berkomentar, “Wah, ngawur saja orang itu. Untung waktu itu saya tidak sedang tidur. Kalau pas saya sedang tidur, terus bagaimana?
Menyeberang Sungai Brantas.
Pada suatu pagi sekitar tahun 1980, asy Syekh bersama mas Luthfl (alm.), mas H. Ali Imron (putera mbah H. Ghozali, Srikaton, Ringinrejo, Kediri), dan seorang sopir berkunjung ke rumah mertua asy Syekh di desa Maron, Srengat, Blitar. Melihat asy Syekh datang, ibu mertua beliau bermaksud akan menanak nasi buat dahar asy Syekh dan yang mengiringkannya, Akan tetapi oleh asy Syekh tidak diperbolehkannya. “Sudah, Mbok, tidak usah makan. Anak-anak itu biar kelaparan saja. ” Mendengar itu mereka pun hanya tertawa Padahal, aslinya mereka memang benar-benar lapar.
Setelah agak lama jagongan dengan hanya ngopi dan rokokan saja, kemudian asy Syekh mengajak melanjutkan perjalanan. Asy Syekh minta untuk diantarkan ke penyeberangan sungai (Jawa, tambangan) yang letaknya di Selatan rumah mertua beliau. Setelah sampai di tambangan, asy Syekh hanya mengajak turun mas Ali. Sedangkan, mas Luthfl dan sopir, beliau suruh langsung menuju ke rumah putera pak Sartimbul, Ngunut, yang berprofesi sebagai tukang las di Selatan pasar Ngunut. “Nanti kita ketemu di sana, Luth,” kata asy Syekh.
Setelah itu, asy Syekh dan mas Ali menunggu di sebuah gubuk yang disediakan untuk orang-orang yang akan menaiki perahu. Setelah perahu hampir terisi penuh, si tukang perahu pun mengajak asy Syekh untuk segera naik ke perahu. Namun, asy Syekh tidak mau. “Sudah, sampeyan berangkat saja dulu, saya nanti saja. Ini lho rokok. . .” Asy Syekh lalu menyuruh mas Ali untuk mengantarkan sebungkus rokok kepada tukang perahu. Sudah menjadi kebiasaan asy Syekh, kemana pun beliau pergi selalu membawa rokok berlebih untuk beliau bagi-bagikan.
Pada saat perahu sampai di tengah sungai, tiba-tiba asy Syekh mengajak mas Ali menyeberang, “Yoh, Li..., kita jalan saja.” Sambil berkata begitu asy Syekh menaikkan celana beliau sampai ke bawah lutut. Melihat asy Syekh menaikkan celana, mas Ali pun ikut-ikutan menaikkan celana sampai ke atas lutut. Oleh asy Syekh pun ditegurya, “Li, kalau melipat (Jawa, nglengkin) jangan tinggi-tinggi, sampai di bawah lutut saja.” Sambil berjalan ke arah sungai, asy Syekh berulang-ulang berkata kepada mas Ali, “Baca sholawat. . .., baca sholawat. . ..”
Setelah itu, asy Syekh dan mas Ali turun ke sungai dan berjalan ke arah seberang sungai. Kedua kaki beliau dan mas Ali masuk ke dalam air hanya sampai di bawah lutut. Melihat kejadian itu, tukang perahu dan semua penumpangnya pun menjadi heboh dan terbengong-bengong. Mereka khawatir kalau asy Syekh dan mas Ali terperosok ke sungai yang dalamnya bisa mencapai 3-4 meter. Namun, mulai dari Utara sampai ke seberang, kaki asy Syekh dan mas Ali yang masuk ke dalam air hanya sekitar 40 centimeter saja.