28.11.22

Ziyaroh Wali Songo

  Pada tahun 1972, asy Syekh mengadakan ziarah Wali Sanga Pada saat itu asy Syekh mengajak serta para murid senior Mbah Mustaqim, di antaranya: mbah kyai Asrori Ibrahim, mbah Slamet, mbah Mubin, dan mbah Ghofur (kakak kandung asy Syekh). Asy Syekh menunjuk bah Latif (bpk H. Abdul Latif) bertindak sebagai ketua rombongan. Rombongan terdiri dari 2 (dua) bus besar. 

Dalam perjalan ziarah itu asy Syekh mengutus bah Latif untuk mencatat semua ‘alamat‘ yang diterima para murid di setiap makam para Wali Sanga. Saat itu, para murid senior di setiap makam bergantian menerima 'alamat' atau isyaroh dari 'shohibul maqom '. Misalnya, ketika berziarah ke makam Sunan Ampel, yang memperoleh 'alamat' adalah mbah A. Ketika di makam Sunan Giri yang menerima isyaroh mbah B, demikian seterusnya. Nah, semua 'alamat' yang diterima itu supaya diceritakan kepada bah Latif untuk dicatat dan nantinya dilaporkan kepada asy Syekh. 

Setelah semua makam Wali Sanga selesai diziarahi, maka selanjutnya asy Syekh mengajak rombongan ziarah ke Jakarta. Ketika sampai di Jakarta, asy Syekh mengajak sowan kc rumah Habib Ali bin Husain a1 Athos, rokhimahulloh, atau lebih dikenal dengan nama habib Ali Bungur. Pada dekade tahun 1960 di Jakarta dikenal adanya Tiga Serangkai Habaib Betawi yang sangat berpengaruh, yaitu Habib Ali bin Abdurahman al Habsyi (habib Ali Kwitang, w. 1967), Habib Ali bin Husain a1 Athos (habib Ali Bungur, w. 1974), dan Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan, rokhimahumulloh. Menurut para ulama ahli ma'rifat kala itu, terutama di kalangan para habaib, habib Ali Bungur diyakini memiliki derajat sebagai seorang Wali Quthub menggantikan sahabat karib beliau, habib Ali Kwitang. 

Ketika di ndalem (rumah) habib Ali Bungur, mbah Ghofur kembali mengalami jadzab. Berkata asy Syekh, “Pada saat di rumah habib Ali (Bungur) kang Ghofur jadzab lagi. Hal itu karena kang Ghofur melihat derajat kewalian habib Ali sangat tinggi sekali, setinggi langit lapis tujuh. Sedangkan, kang Ghofur merasa derajatnya rendah sekali, serendah bumi lapis tujuh.” 

Ketika itu khaliyah (tingkah laku) mbah Ghofur layaknya orang yang memendam rasa marah yang amat sangat. Mbah Ghofur amat marah karena menyaksikan orang-orang yang datang ke rumah habib Ali itu beliau nilai tidak memiliki sopan santun atau su 'ul adab. 
Melihat mbah Ghofur seperti itu, maka ada yang berinisiatif memintakan doa kepada habib Ali agar mbah Ghofur diberi 'kesadaran'. Maka, dihaturkanlah kepada habib Ali segelas besar air putih. Setelah selesai habib Ali memberikan doa pada air itu, gelas itu kemudian oleh habib Ali diberikan kepada as syekh yang kebetulan duduknya paling dekat dengan habib Ali Begitu asy Syekh menerima gelas itu, asy Syekh langsung meminum sendiri air itu, glek... glek... glek... 

Mengetahui asy Syekh meminum air itu tanpa henti, spontan orang-orang yang hadir di situ terkaget-kaget, hai.. hai... dum.“ dum... (bagi... bagi...). Mereka semua menunggu giliran bisa meminum air yang sudah berisi doa tersebut. Namun, ternyata asy Syekh meminum air di gelas itu sampai habis, tak tersisa setetes pun. Yaaaahhh...

Setelah selesai acara di Jakarta, perjalanan ziarah pun dilanjut. kan ke Penjalu. Ketika perjalanan hampir sampai di Penjalu, mbah Ghofur kembali jadzab lagi. Pada saat di Penjalu, prilaku 
jadzabnya mbah Ghofur berbeda dengan ketika di Jakarta. Dalam perjalanan ke Penjalu itu mbah Ghofur menangis sejadi jadinya. Hal ini karena beliau melihat mbah Penjalu menyambut rombongan itu ketika masih di dalam bis. 

Beliau melihat mbah Penjalu menyalami satu per satu peserta ziarah. Namun, ketika giliran menyalami mbah Ghofur, beliau dilewati. Mbah Penjalu tidak mau menyalami mbah Ghofur Hal ini tentu saja mengagetkan beliau. Beliau merasa sangat terpukul. Mbah Ghofur merasa diri beliau sangat hina dina, sampai-sampai mbah Penjalu tidak mau bersalaman dengan beliau Maka, menangislah beliau sejadi-jadinya. 

Setelah selesai semua rangkaian ziarah, maka pulanglah rombongan ziarah itu ke Tulungagung. Selang beberapa hari kemudian setelah masing-masing hilang rasa penatnya, berkumpullah murid-murid senior yang mengikuti ziarah itu di pondok PETA. Mbah Ghofur pun yang saat itu sudah kembali 'normal' bercerita tentang pengalaman ruhani beliau, terutama ketika di Penjalu. 

Seusai mendengar penuturan mbah Ghofur, asy Syekh pun berkata, “Yo mesti to kang sampeyan ora disalami mbah Penjalu. Lha wong sampeyan kuwi kan ya putune dewe? Sing disalami kuwi kan yo tamu-tamune, t0? Mosok karo putune dewe kudu salaman? ” (ya mesti to kang sampeyan tidak disalami mbah Penjalu. Lha orang sampeyan itu kan cucunya sendiri? Yang disalami itu kan ya tamu-tamunya, to? Masak dengan cucunya sendiri harus salaman?). Mendengar penjelasan asy Syekh, maka jadi legalah hati mbah Ghofur.